
Itulah sebabnya guru mesti belajar, terutama para guru di pedesaan yang jauh dari pusat-pusat informasi seperti toko buku, perpustakaan ketika perpustakaan sekolah tidak cukup literatur baginya, mestinya seorang guru mempunyai mini library. Sumber informasi lainnya seperti media cetak harian dan lainnya akan sangat membantu pemerkayaan itu. Banyak guru di pedesaan ingin mengikuti perkembangan dunia. Untuk itu mereka memperkaya diri dengan perlengkapan elektronik seperti televisi dan perangkat penangkap siaran (antena parabol). Sayangnya semua informasi/news/kabar yang ditayangkan di televisi hampir dapat dipastikan tidak edukatif, apalagi untuk memperkaya khazanah pengetahuan. Semuanya bersifat habis manis sepah dibuang. Artinya, yang diterima itu hanyalah ilusi-ilusi karena telenovela yang digemari. Ada pula yang bersifat mengundang rasa simpati dan empati, namun berapa banyak guru pemirsa yang ikut memberikan sumbangsihnya ketika melihat tayangan televisi tentang korban bencana gunung meletus, banjir, pesawat terbakar, pesawat hilang, kecelakaan maut di jalan raya, dan lain-lainnya. Semua guru yang menjadi pemirsa televisi hanya menyapu dada dan kembali ke kesibukan rutinnya. Tidak ada aksi nyata dari melihat tayangan news televisi. Pada posisi ini, mereka melakukan charging yang kurang tepat. Padahal, ketika masuk ke kelas mereka harus melakukan proses pembelajaran yang sesuai bidang studinya atau sesuai dengan kelas yang diampunya.
Sekali ini, mari memperhatikan guru yang mengajar dengan pengetahuan yang diterimanya di bangku kuliah. Ia sama dengan obat nyamuk bakar. Ia akan kehabisan energi pengetahuan, maka proses pembelajarannya dapat dibayangkan. Hambar, berdebu, tiada bernilai lagi. Bandingkanlah dengan guru yang terus-menerus belajar. Ia belajar pada bidang yang ditekuninya. Ia memperkaya bidang yang ditekuninya. Ia akan semakin kaya yang sama artinya dengan semakin membarui energi pada dirinya. Ia harus membuang energi yang dimilikinya, itu benar, dan pada saat yang lain ia harus memanfaatkan peluang belajar dan belajar lagi sebagai upaya untuk melakukan recharging (isi ulang) energi baru pada dirinya. Jika ia tidak melakukannya, ia justru akan sama dengan obat nyamuk bakar. Ketika ia habis terbakar, para nyamuk akan bangun lagi dan menjadi creator-creator baru yang semoga saja lebih berguna, jika tidak, maka kesemrawutan dalam proses pembelajaran saja yang dipetik oleh sang guru.
Mari sejenak memperhatikan kerja obat nyamuk bakar. Ia terbakar dari area yang luas, melingkar ke arah pusatnya. Energi yang dibuangnya menebarkan racun di sekelilingnya. Banyak nyamuk yang mungkin telah kebal terhadap energi yang demikian. Mengapa? Karena racunnya tidak pernah dibaharui, yang sama artinya dengan energinya tetap yang itu juga. Maka, tidak heran jika ada nyamuk yang pingsan sebentar, kemudian akan bangun lagi setelah obat nyamuk habis terbakar hingga tersisa debunya. Dapatkah debu obat nyamuk bakar mengusir nyamuk? Tentu saja tidak! Pemilik rumah membakar lagi. Nyamuknya lari bersembunyi di balik pakaian yang bergelantungan. Nyamuk pergi bersembunyi di dalam genangan air; di dalam botol-botol dan semua peralatan yang menyimpan air. Di sana ia bertelur dan dalam waktu teramat singkat menghasilkan populasi nyamuk baru. Maka, pemilik rumah harus menyediakan anggaran yang cukup untuk membeli obat nyamuk bakar, karena populasi nyamuk semakin banyak. Secara ekonomis, yang dirugikan adalah yang memanfaatkan obat nyamuk bakar. Nyamuk-nyamuk tetap berpesta ketika satu mati, yang lain beterbangan menghindari racun/energi yang disebarkan oleh obat nyamuk bakar itu.
Maka, sebaiknya berlakulah seperti HP yang ada di tangan siswa dan guru, dan semua pengguna HP dan perlengkapan IT. Pada HP tersedia alat bantu recharging yang dapat terus-menerus melakukan isi ulang. Artinya ada usaha untuk merefresh/menyegarkan energi. Itulah yang mesti dilakukan guru di pedesaan agar tidak ketinggalan dalam membaharui pengetahuan sehingga tetap fresh/segar sebagaimana ketika meninggalkan kampus.





