By: Heronimus Bani
Hai cakrawala, bintang gemintang, dan bulan rembulan, pengantar syahdu puisi cinta,
Lihat guru itu!
Ia menenteng tas kusut dan memapah buku lusuh.
Wajah berseri yang dibuat-buat nampak mekar indah di pagi hari,
seindah mentari pagi yang sejuk.
Wajah yang sama akan layu bersama wibawa lima hingga tujuh jam kemudian.
Ia mengantar ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan seni.
Ia membawa nilai akhlak moral dan budi.
Ia memajang teladan dan ketauladanan.
Ia digandrung gadis desa dan digantung perjaka kota.
Bahkan pemuka bermuka bopeng.
Hai awan gemawan penyejuk rasa, penyedia kata nan segar,
Lihat guru itu!
Ia menerima sapa nan ramah dari suara bertalu dan mendayu sang murid:
Selamat pagi Pak dan Ibu guru.
Ia mengangguk mengulum senyum di bibir tebal bergincu mamat.
Ia menyapa ramah si bapa dan si mama di ruang angker maha suci sambil membungkuk dan membangkang.
Hai guruh dan guntur penggetar sukma, penyela galau,
Lihat guru itu!
Ia berdendang dan menari di depan kelas.
Keringatnya berlelehan mengantar bau amis ikan asin, karena menu kesehariannya.
Manakala menu ini tamat di paruh bulan, ia berkeringat garam yang menggurat pulau hutang dan sungai kebimbangan.
Ketika ia berteriak suaranya bergetar laksana guruh menggemuruh, namun getaran akhir hanya mendesis tak terdengar telinga.
Oh, ternyata si abah menanti di ambang janji karena gincu dan gentle yang belum terlunaskan.
Ketika ia mengayun langkah bumi gemetaran, namun langkah yang sama lunglai gemulai manakala ia berangkat melunasi janji dengan si teknoportasi.
Hai gunung, bukit, laut dan samudera raya, penguat kalbu, penegak urat,
Lihat guru itu!
Ia meraung permisi di ruang angker maha suci si bapa dan si mama.
Ia minta diizinkan mendaki gunung ‘tuk memetik bunga penghias ruang.
Ia minta diizinkan pulang melaut semalam ‘tuk melepas sauh kepenatan.
Ia memelas lirih.
Ia jujur karena masih menyusu bebi hingga terlambat.
Ia jujur karena masih menyusu sapi kurus dan ayam cacingan hingga telat.
Hai dataran dan lembah, lurah dan ngarai, penakluk haribaan – pencipta bencana,
Lihat guru itu!
Dengan seisi rumah berangkat tertatih-tatih karena surat perintah bertugas yang diterimanya dari si tegas pongah
Ia diarak ke timur, ditolak di barat, diobok di utara, dibabat di selatan.
Hai anak manusia pencinta ilmu dan kebajikan
Lihat guru itu!
Butiran air matanya menetes menggali umbi mengangakan liang.
Umbi dimakan liang minta ditutupi.
Ia duduk di meja tuanya dan mendengarkan siaran radio dua band yang storing saat pidato kenegaraan dan kedaerahan dibacakan di pusat negeri dan kota.
Ia berharap semoga si tegas berwibawa dalam keputusan kesejahteraan, agar liang umbi tertutupi.
Ia menguping wacana aa pe be en, aa pe be de, memelek koran lusuh pinjaman rekan ketika mereka sama-sama di simpang penantian.
Ia melongok tivi na’riri’ menyilau mata berkaca mata minus.
Hai desir angin selatan, gerangan apa kau bawa hari ini?
Tidakkah kau bawa nestapa kehinaan dari si “pahlawan tanpa tanda jasa”?
Tidakkah kau anggap rendah martabat si tut wuri handayani?
Tidakkah kau usik ruang cinta nan wibawa ing ngarso sung tolodo?
Akh, agaknya kau rintangi uluran tangan si mangun karso?
Dan, mestinya kau bawa puah bonak pengharum mulut?
Oh, paus dan kakap, lumba dan terbang,
Kreso ada di sekitarmu, ia berdecak: bte tetee, tgooowa’
Oh, rajawali dan gagak,
si pipit terbang rendah sambil terus bernyanyi riang : trilili lili li lili.
Ia riang dalam kesahajaan tanpa kemunafikan di altar kehidupan.
Ia tahu regulasi tak mungkin revolusion
Ia tahu rajawali tak ‘kan memotong dahan tempat ia bertengger
Ia tahu gagak pasti memangsa
Dan ia tetap tahu bila jangkrik bernyanyi, dari liang kehinaan, lengking
suaranya setajam jarum tangan di tangan guru yang menisik soom kaki celananya.
Hai putra putri pengantar kemuliaan negeri
Aku tahu kau tetap bersemangat dalam kesahajaan
Kau tetap memiliki inspirasi dalam kerisauan
Harapan mengambang di kepalamu
Tegur sapa mungkin berkesudahan, tapi niat tak patah arang
Sekali langkah kau ayun, pasti finis di garis uan
sekali tangan kau ulur, pasti kau raba raga banit
sekali bibir kau kulum, pasti kaulekatkan di naknuin
sekali telinga kau buka, pasti menguping desah askoorat
Ingat!
Budi baikmu dikenang dalam cinta,
Kecuali oleh si pongah ogah.
Selamat ulang tahun tunggur ate.
Kudoakan kau selamat dalam ziarah.
Semoga umur tak uzur,
bangsa cerdas dan bijak akan terus kau lahirkan.
Kecuali bangsat yang cacat moral.