Pengantar
“Fafi nmaet!” Begitulah kabar dari seorang pemuda yang ditugaskan menjaga seekor babi yang disiapkan untuk pelaksanaan ritual hukum adat perkawinan. Seekor babi (berumur kira-kira 1 tahun) telah disiapkan. Kondisi sehat. Tewas seketika. Keluarga bersepakat mengambil seekor babi pengganti. Diperoleh. Babi kedua pun tewas ketika tiba di lokasi persiapan ritual dalam rangka memenuhi syarat perkawinan menurut hukum adat. Apa masalahnya sehingga kedua ekor babi ini mati mendadak? Inilah fakta yang penulis temui dalam suatu ritual memenuhi hukum adat perkawinan di salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Babi Tewas, ada apa?
Mengapa babi itu mati? Pertanyaan ini mudah dijawab secara logika. Faktanya, kondisi daerah itu cukup panas (kira-kira suhu mencapai 25 derajat Celsius) pada hari itu. Babi yang berumur 1 tahun yang diikat tidak tahan panas. Demikian adanya penjelasan sederhana menurut logika. Tetapi, para orang tua (amnasit) tidak menerima penjelasan ini. Mereka hendak menguji kebenaran “teori” itu. Maka, dimintakanlah agar membawa seekor babi yang umurnya sama dengan kondisi badan jauh lebih sehat. Para muda menemukan babi yang demikian. Beberapa saat kemudian, para muda melaporkan bahwa babi kedua pun telah tewas. Wajah merah padam para orang tua pertanda marah dan kecewa. Penjelasan yang logis apapun tidak akan diterima lagi. Mereka tetap pada pendirian bahwa telah terjadi sesuatu pada masa lalu yang belum dibereskan oleh keluarga dari pihak-pihak yang sedang mengurus perkawinan sepasang kekasih itu menurut hukum adat.
Dibentuklah dua kelompok diskusi (naketi’). Kelompok diskusi A pada keluarga pihak pengantin adat perempuan. Kelompok diskusi B pada keluarga pihak pengantin adat laki-laki. Pada kelompok A setelah naketi’ mereka menemukan, bahwa orang tua nona belum menyelesaikan adat perkawinannya. Oleh karena itu, anaknya tidak boleh melangkahi orang tuanya dalam rangka urusan ini. Memutar jarum jam untuk kembali ke masa lalu terlebih dahulu agar dapat menyelesaikan perkawinan menurut hukum adat dari orang tua pengantin perempuan ini. Bila hal itu terjadi, maka akan terbuka pintu dan jalan lebar untuk boleh melangsungkan ritual adat perkawinan saat ini.
Kelompok B menemukan, bahwa pada orang tua mereka sudah selesai urusan perkawinan menurut hukum adat dalam bentuk yang amat sederhana, yang dihadiri dan diketahui oleh sekelompok kecil orang tua. Di samping masalah lain yaitu antarsaudara kandung dari pengantin laki-laki (nyong) tidak ada akur sehati dalam urusan ini.
Hasil naketi’ kelompok A dan B disatukan. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kepada amnasit. Amnasit mengambil keputusan.
“Mari kita bawa dalam do’a kepada Uisneno. Bersyukurlah kepada Tuhan karena Ia mengingatkan kepada kita agar tidak melanggar aturan-aturan para leluhur. Para leluhur meletakkan suatu dasar aturan dengan hati jujur dan bersih. Tidak diperkenankan anak melangkahi orang tua dalam urusan perkawinan menurut hukum adat. Tidak diperkenankan nama marga keluarga (nonot) “dicopot” dengan melangkahi nonot yang belum “dicopot/diturunkan””.
Penurunan nonot disebut kaosnono (bhs Amanuban dan TTS/TTU; sea’nono ~ Amarasi; kenoto ~ Sabu; ). Amnasit memimpin do’a. Sesudah do’a dilantunkan kepada Uisneno, ia meminta agar mengambil seekor babi yang sama umurnya dan berbadan sehat. Babi yang demikian kondisi itu pun diambil dan dibawa ke dalam lokasi ritual. Babi ini tetap segar-bugar, diikat tidak bersuara. Diletakkan di tempat khusus pengantaran, tidak bersuara.
Penutup
Apakah pembaca percaya bahwa babi yang tewas itu sebagai tumbal atas “dosa”? Ada yang selentingan di sekitar lokasi, “beruntunglah yang tewas itu babi, bagaimana jika orang?” Entahlah kita harus yakin pada fakta bahwa udara panas telah menjadi penyebab matinya kedua ekor babi itu karena kaki-tangan dan mulutnya diikat. Kesulitan bernapas menjadi penyebabnya. Para amnasit dan mayoritas undangan yang hadir lebih percaya bahwa, karena “dosa” para orang tua pada masa lalu telah dibebankan kepada anak-anak pada hari ini. Beruntunglah ada kesempatan “menebus dosa” orang tua. “Dosa” kedua calon pengantin adat pun menjadi batu antukan sehingga mereka pun berkesempatan membersihkan diri.
By : Heronimus Bani