Pengantar
Dalam bulan Pebruari –Maret 2015, jagad informasi dan kabar di nusantara berkutat di sekitar eksekusi mati anggota Bali Nine dan beberapa orang terpidana mati baik dari manca negara maupun dalam negeri. Begitu panasnya kabar ini sehingga hampir pasti hal-hal yang positif di republik ini tidak tersentuh untuk disajikan kepada khalayak agar sekedar memberi rasa nyaman atas keberhasilan pemerintah dan masyarakat dalam salah satu atau beberapa sisi pembangunan.
Pro-kontra antara penegakan kedaulatan hukum di republik tercinta dan pelanggaran hak asasi manusia terus mengalir, bahkan dari permohonan, ungkitan jasa hingga ancaman boikot kunjungan wisatawan, dan barter napi dari Australia ke Indonesia; dan tindakan mempermalukan Dubes Indonesia di Brazil tidak menjadikan pemerintah Indonesia goyah dalam kerangka kedaulatan hukum di Republik Indonesia.
Suatu tindakan dan sikap bersikukuh pada keyakinan menegakkan kedaulatan hukum menjadi acuan utama pemerintah di bawah Presiden Ir. Joko Widodo dan Wapres Drs. M.Jusuf Kalla. Ada resiko politik di dalam negeri yang harus ditanggung oleh pemerintah, hingga hubungan bilateral dengan negara yang warganya terkena pidana mati, bahkan hubungan internasional terutama karena berbagai permohonan agar pemerintah memberikan pengampunan kepada para napi narkotika itu.
Saya tidak ingin masuk pada pembahasan ini karena bukan ranah saya. Saya melihat sisi lain dan belajar darinya, yaitu hukuman mati terhadap Yesus sang Manusia Tulen yang adalah Tuhan dan Penebus dalam iman Kristen. Ada tujuh minggu yang disebut sebagai minggu-minggu sengsara dalam tradisi gereja sebagai masa pra paskah, dimana dalam tujuh minggu berturut-turut itu umat Kristen beribadah/berbakti sambil memberi makna atas peristiwa kesengsaraan Yesus hingga dijatuhkan kepada-Nya keputusan eksekusi mati oleh pengadilan massa di bawah komando Pontius Pilatus, para imam dan didukung massa kaum Yahudi menurut kitab-kitab kanonik. Apa dan bagaimana memaknai itu dalam hubungannya dengan eksekusi mati yang heboh di Indonesia pada saat itu?
Eksekusi mati Yesus
Umat Kristen mengetahui dan bisa menceritakan kisah kehidupan Yesus dari kelahiran, masa kecil, masa muda dan karya-Nya, kesengsaraan, kematian dan kebangkitan-Nya, serta naik ke sorga. Hubungan yang dibangun dengan sesama dalam kata, tindakan dan sikap menjadikan-Nya seorang Manusia yang berbeda dari yang lain. Lebih tepat bagi saya untuk memakai istilah Yesus Guru yang luar biasa, oleh karena para pengikut-Nya menyapa dengan sebutan Rabi ~ Guru. Ia menjadi guru yang berbeda dari guru-guru pada segala masa.
Guru-guru pra-Yesus seperti Plato, Aristoteles, Pythagoras dll yang selalu dirujuk adalah para guru yang luar biasa karena ajaran mereka masih berlaku sampai saat ini, tetapi mereka belum melampaui Yesus. Ajaran para guru itu diacu, tetapi kehidupan pribadi mereka bukan isu untuk diperdebatkan. Sedangkan Yesus, ajaran, sikap, tindakan, hingga kehidupan pribadi-Nya pun diperdebatkan. Bila ada perdebatan tentang para guru luar biasa pra-Yesus, perdebatan itu tidak sehebat perdebatan seputar kehidupan pelayanan Yesus dan seluruh totalitas-Nya. Maka, saya menyebut Yesus sebagai amat luar biasa menjadi tidak berlebihan.
Salah satu sisi dari perdebatan tentang Yesus itu adalah kematian-Nya. Sebab-musabab kematian-Nya, dakwaaan dan kesaksian terhadap-Nya, hingga para eksekutor atas diri-Nya, terus-menerus diperdebatkan, terutama dikhotbahkan oleh para rohaniawan Kristen untuk mendapatkan sari pati makna mengikuti perkembangan dunia agar mempertebal keimanan umat Kristen.
Menurut kitab-kitab kanonik, Yesus dituduh/didakwa dengan pasal-pasal yang melawan agama Yahudi. Dari kesalahan kecil yang dibesarkan, misalnya melakukan perbuatan baik pada hari Sabat, termasuk para murid-Nya yang berlaku sama pada hari Sabat dengan memetik gandum untuk sekedar menghilangkan rasa lapar; sampai dengan kesalahan besar seperti kata-kata merobohkan Bait Allah (teks Melayu Kupang; Rumah Sembahyang Pusat) dan terlebih lagi kesalahan yang teramat besar dalam pandangan para imam Yahudi yaitu menyamakan diri-Nya dengan Tuhan Allah sebagai hojat. Hukuman untuk kesalahan menghojat Tuhan Allah tidak ada yang lain, kecuali mati.
Pengadilan terhadap Yesus dibuka. Dimulai dari Mahkamah Agama Yahudi. Di depan sidang Mahkamah Agama, para saksi memberikan kesaksian yang saling bertabrakan antara benar dan salah, sampai Yesus sendiri menjawab pertanyaan Ketua Mahkamah Agama. “Apakah engkau ini Mesias Anak Allah?” Yesus menjawab, “Engkau sendiri mengatakannya!” Kalimat ini dianggap sebagai kesalahan teramat besar. Dosa yang pantas diganjar dengan hukuman mati. Menurut Mahkamah Agama itu, mereka tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan hukuman mati. Padahal, bila dicermati sebenarnya mahkamah itu telah mengamarkan keputusan hukuman mati itu. Lalu agar terkesan bukan mereka yang memutuskan hukumam mati, maka diputuskan untuk menyerahkan kepada peradilan sekuler (pemerintah kekaisaran Romawi) yang mempunyai kewenangan menghukum mati seseorang. Dalam hal ini diserahkan kepada Gubernur Propinsi Yudea di bawah komando Pontus Pilatus.
Menurut catatan kitab-kitab Kanonik, Pontius Pilatus tidak mendapati adanya kesalahan pada Yesus. Ia bahkan berniat dan yakin untuk membebaskan-Nya. Pontus Pilatus bahkan sempat mendapatkan peringatan dari isterinya agar tidak mencampuri urusan Orang Benar itu (Mat.27:19). Dalam hal ini istri Pilatus sangat objektif. Sementara sikap Pontus Pilatus sebagai “hakim” menjadi goyah karena faktor eksternal yaitu demonstrasi di dalam dan di luar gedung persidangan yang mengadili Yesus.
Demontrasi yang dimotori para “hakim” mahkamah agama Yahudi dan massa yang cenderung destruktif dan anarkhis, menjadi penyebab runtuhnya keyakinan sang gubernur terhadap keyakinannya bahwa Yesus tidak bersalah. Gubernur justru patuh pada tuntutan massa demonstran karena ketakutannya. Gubernur yang menjadi hakim pada pengadilan itu menjatuhkan hukuman mati bukan atas dasar keyakinannya dan pemberlakuan undang-undang secara independen. Gubernur menjatuhkan hukuman mati atas desakan dan gerakan massa.
Hukuman yang diterima Yesus mencapai puncak pada kematian-Nya. Menuju kematian itu cercaan, hinaan, tamparan, olokan, dll hingga hukuman sosial yang diterima-Nya sangat menyakitkan baik oleh diri-Nya sendiri maupun para pengikut-Nya. Yesus yang tidak bersalah dibarter dengan Barabas, politisi dan pelaku makar.
Eksekusi mati napi narkoba?
Pro-kontra antara menghukum mati para napi narkoba masih akan terus berlangsung di Indonesia. Memproduksi, mengedarkan, dan memakai narkotika adalah kejahatan luar biasa sehingga dianggap layak dan pantas diganjar dengan hukuman mati. Pengadilan secara berjenjang di Indonesia dalam amar putusan baik ringan, sedang, berat hingga hukuman seumur hidup dan mati pasti ada eksekutor dari keputusan pengadilan yang inkrah.
Dalam hal ini kekuasaan dan wewenang itu diberikan kepada negara melalui kejaksaan. Kejaksaan sendiri dalam tata bernegara dan berpemerintahan kita berada di bawah presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Menurut konstitusi, presiden mempunyai wewenang untuk memberikan grasi. Di tangan sang presidenlah semua narapidana mengharapkan pengampunan atas “dosa-dosa” mereka.
Sebagaimana gubernur, Pontus Pilatus hendak membebaskan (mengampuni) Yesus, itulah grasi yang seharusnya diberikan terhadap Orang yang sungguh-sungguh tidak bersalah itu. Jika saja presiden dapat memberikan pengampunan kepada orang bersalah dan terpidana mati, mungkin banyak kaum mendoakan agar presiden mendapatkan rahmat dan kebijaksanaan dari Tuhan dalam memimpin dan mengepalai negara.
Presiden RI bersikukuh bahwa demi kedaulatan hukum republik Indonesia tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, maka grasipun ditolak. Langkah hukum apapun akan mentok,tidak ada jalan keluar lain. Satu-satunya jalan terbaik itu adalah mati. Maka eksekutor yaitu kejaksaan akan melakukan tugasnya.
Saya belajar bahwa (1) penegakan hukum dan kedaulatan hukum membutuhkan sikap yang teguh. Tidak tergoda bujuk rayu. Tidak tergoda ancaman dan ungkitan jasa, barter dan boikot. Tidak tergoda pencitraan. Bukan pula karena faktor desakan massa dalam atau luar negeri dan lain sebagainya. Pemerintah RI melakukan hal itu terlepas dari berbagai isu yang produktif dan kontra-produktif di sekitar hal ini. (2) Martabat, harga diri bangsa dan negara menjadi taruhan. Bila semua kondisi pada point (1) di atas tergadaikan, maka martabat pemerintah tergadaikan dan diremehkan, martabat bangsa dan negara pun ikut diremehkan. Jika terpeleset dalam penegakan kedaulatan hukum, pasti bertepuktanganlah mereka yang mempunyai kepentingan-kepentingan di balik suatu kasus.
Pontus Pilatus “kalah” karena desakan massa demonstran. Para imam dan demonstran bertepuk tangan. Mereka berhasil/menang. Tetapi, sang gubernur kukuh ketika ia memerintahkan untuk ditempatkan tulisan Inilah Raja Orang Yahudi. Di sini ia konsisten untuk tidak menghapus dan meniadakan tulisan itu. Kira-kira Pontius Pilatus mau berkata, “apa yang sudah kutulis, itulah yang kubacakan!” atau “apa yang kubacakan, itulah yang sudah kutuliskan!”
Penutup
Kepada umat Kristen, marilah merenungkan dalam masa-masa perayaan kesengsaraan Yesus dan memaknai wafat/kematian Yesus dengan mewujudkan iman Kristen di tengah-tengah perkampungan dunia. Mungkin saudara tergolong orang yang setuju atau tidak setuju dengan hukuman mati. Ingatlah, Yesus, Orang yang tidak bersalah, dihukum mati. Bagaimana pula dengan orang yang bersalah? Mereka patut diberi pengampunan? Ya! Namun, bila mereka harus dieksekusi mati, apakah imanmu goyah?
Selamat merayakan Minggu-minggu Sengsara dan Jumat Agung, hari kematian/wafat-Nya Yesus. Amin.