Doa dalam Temaram

foto by images.google.com
foto by images.google.com
foto by images.google.com

Malam semakin tak terang. Redup rembulan tenggelam di seberang gunung mutis. Sebelum hanya sekedar menunjukkan sebagian cahayanya. Sebab, sejak tadinya, ia tertutup awan hitam.

Keresahan datang menghampiri. Bersama jeritan binatang malam. Ia mulai memecahnya dengan merenung. . dalam sunyi, masih belum tertidur. Jarum jam menunjuk angka dua belas lewat tiga menit. Ia berdoa sebentar dalam hati. Lalu….terus saja menatap langit-langit yang seolah tengah menertawakannya.

Di ujung doanya, ia menyeka air mata. Tak terbendung. Sesekali memerah hidungnya. Seperti tengah dilanda sakit flu..  Ia berdoa dalam ketidak pastian. Sebelum ia memutuskan untuk menghentikan doa khusuknya sejak tiga malam lalu. Tiga malam sudah ia terbawa dalam khusuk doanya. Berharap dalam kurun waktu tiga hari itu pula, doanya akan segera terjawab!

Aih…hidup ini sungguh menyiksa kawan. Sudah sebulan ini, jajanan kue yang dijualnya di lokasi sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah, tak juga laris. Anak-anak di sekolah itu lebih memilih menjajankan uang mereka pada tante di seberang jalan. Di mata anak-anak sekolah, mungkin ajanan tante di seberang jalan lebih bagus-bagus ketimbang milik perempuan ini. Walau secara kebersihan, dua-duanya tidak jauh beda. Namun, entahlah….anak-anak lebih memilih menyeberang jalan untuk berjajan. Padahal perempuan ini sudah menerobos dan menjajankan jualannya di ujung ruangan perpustakaan.

Ia si perempuan malang ini tak bersuami.

Besok adalah tanggal jatuh tempo untuk segera membayar cicilan di koperasi. Sepeser uang tak ia kantongi. Ia gelisah. Resah bercampur aduk! Tak ada jua barang berharga yang biasa digadaikan untuk membayar cicilan mingguan itu. Koperasi mingguan itulah yang memberinya pinjaman uang untuk boleh melancarkan bisnisnya yang sangat sederhana–berjualan kue ke sekolah di dekat rumah!.

Ia si perempuan, telah menjadi korban!. Dulu, perempuan itu terpaksa menolak lelaki dari kampung seberang, yang hendak mempersuntingnya. Namun. Cinta mereka kandas. Perempuan itu memilih untuk tidak menikah. Sebab, cinta dihambat perbedaan keyakinan.! Dan semenjak itu, perempuan itu memilih enggan menikah.

Tiga orang anak sudah. Tanpa suami. Dalam kejandaan. Perempuan tua itu terus menapaki langkah hidup yang keras. Sekeras karang yang tak mudah sekadar dilangkahi dengan kaki telanjang. Sebab ia akan siap menlukai telapakmu yang tak beralas.

“Tuhan…tolong beta do…….”
tanpa sadar perempuan itu mengeluarkan suaranya! Ya…hanya pada Tuhan ia berseru. Sebab, dengan tetangga? Ia digosipkan sebagai perempuan tak baik.  Di lingkungan sekitar memang terkenal dengan gosip menggosip antar ibu-ibu yang bertitel DRA (di rumah aja). Topik gossip terhangat sudah tentu tentang si perempuan tak bersuami ini.

Perempuan yang hidup tanpa pendamping, tak mampu menolak godaan. Rayuan maut mulut lelaki buaya darat pemberi harapan palsu (PHP). Datang dengan segala janji manis penuh kepalsuan…..dan habis manis sepah dibuang. Begitulah. Hingga tiga orang anak sudah ia lahirkan. Tanpa ayah! …..ia selalu saja kuat berdiri. Bahwa mungkin ini adalah takdir yang telah menggariskan jalan hidupnya!????

Tiga orang anak laki-laki dari si perempuan ini, Yang paling besar duduk di bangku kelas dua belas di sebuah SMA swasta di pusat kota kecamatan. Yang kedua di bangku SD kelas lima, dan yang ketiga berusia tiga tahun enam bulan, PAUD juga belum. Tiga anakknya ini sudah terlelap. Terbawa mimpi indah, sebab ibunya teah membacakan doa yang cukup khusuk bagi mereka.

“Tuhan…tolong beta…. besok beta harus stor koperasi. Uang sonde ada satu sen, beta harus karmana”. Ia terus berseru dalam sendirinya.

Udara malam terasa menggigit. Menggigit dengan derajat yang cukup rendah. Terdengar suara burung hantu berteriak tak jauh dari rumah perempuan itu.

Di belakang rumah si perempuan memang masih belukar kosong, dengan beberapa pohon taduk yang berdiri dengan keangkerannya saat malam tiba. Perempuan itu mengambil korek api, menggariskan anakannya dan keluarlah nyala dengan aroma khas belerang. Melemparkannya ke arah luar…..

”hush hush hush….tukang suanggi..jauh-jauh dari be pu rumah… be pu anak dong mau tidor aman…pi suanggi orang yang ada doi dong..be son ada apa-apa ju……”

Meski si perempuan selalu berteriak demikian saat burung itu mulai mengeluarkan suaranya, namun, di mata para tetangga, ia justeru dikenal sebagai tukang suanggi. Trend gossip yang beredar di kalangan ibu-ibu DRA, bahwasannya si perempuan malang ini, memiliki piaraan yaitu burung hantu yang saban malam berteriak tak jauh dari rumah perempuan ini.
Perempuan itu kembali merenung! Setelah suara burung hantu itu tak lagi terdengar.
“Tuhan..beta salah apa…hidup su susah begini ju orang masih bilang beta tukang suanggi”………

Dua jam sudah ia termenung. Sambil sesekali mengeluarkan suara dengan berseru kepada Tuhan sang pemberi segalanya. Sebelum ia tersandar pada dinding rumah yang terbuat dari bebak (pelepah gewang). Ia tersadar saat mentari mulai menerobos celah-celah dinding. Anak lelakinya yang paling sulung. Membangunkannya.

“Mama-mama…..bangun sudah, kenapa ko tidor sandar sa di dinding begini?…. bangun ko mandi sudah…… ini hari mama harus ikut beta ke sekolah. Beta terima Bantuan uang BSM (bantuan siswa miskin). beta su masuk dalam program PIP (program Indonesia pintar)………..Orang tua harus hadir. Kitong harus pigi papagi”.

SALAM PIP

 

oleh. delon lelebo.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *