Dalam Pelukan Terorisme

Kandidat Doktor di Universitas Tilburg, Belanda
Max Regus, Kandidat Doktor di Universitas Tilburg, Belanda
Max Regus, Kandidat Doktor di Universitas Tilburg, Belanda

Tilburg, infontt.com.

sumber gbr: dw.com
sumber gbr: dw.com
Kota Paris kembali berada dalam pelukan terorisme. USA Today (14/11/2015) menyebut serangan di Bataclan concert hall saat pementasan band rok dari California, the Eagles of Death sebagai “massacre” dan “the Friday Bloody attack.”

Tragedi yang berjarak hampir sampai setahun dari Charlie Hebdo pada Januari silam. Jika menyimak informasi yang cukup lengkap di Global Terrorism Database, University of Maryland, USA, Prancis memiliki sejarah panjang serangan fatal mulai 1970 hingga 2014. Tragedi Jumat malam lalu menambah panjang fatalitas teror di sana.

“Malum”
Tragedi Paris memperlihatkan bagaimana “negativitas” tidak lagi terjadi secara episodik dan sporadis. Kebrutalan–atau apa pun ungkapan yang pas–sedang bergerak sistematis. Sesuatu yang merusak kenyamanan sosial. Menumbuhkan rasa takut dalam diri publik. Di hadapan kengerian seperti ini, kita segera menangkap kesan kuat tentang hilangnya kecanggungan untuk bertindak dengan naluri hewani yang liar dan tak terkendali dalam diri para pelaku.

Bisa saja kita menengok kembali buku yang ditulis Mark Juergensmeyer–Terror in the Mind of God (2002)– meneguhkan kemungkinan terbangunnya hubungan antara agama dan kultur kekerasan. Dia melakukan wawancara dengan banyak tokoh dari kelompok garis keras dan menarik kesimpulan tentang hubungan antara religious worldview dengan aksi kekerasan, teror dan kemartiran. Meskipun ada tautan yang sangat kuat antara aksi kekerasan teror dan worldview (ideologi agama), namun terorisme harus tetap dinilai dalam perspektif kejahatan.

Terorisme adalah struktur sebuah kejahatan. Aksi semacam ini tidak bisa diringankan bobot kejahatannya berdasarkan pertimbangan para pelaku. Meminjam gagasan David M. Buss (2005)–The Murderer Next Door: Why the Mind is Designed to Kill–Terorisme adalah malum (keburukan yang lengkap di dalam dirinya sendiri). Sebelum deretan motivasi lain seperti ekonomi-politik atau religius-sosial terjelaskan, tidak ada ungkapan lain selain bahwa serangan langsung terhadap kemanusiaan adalah maksud utama terorisme.
Model Realitas
Terorisme pasti memiliki basis ideologis yang jelas dan kuat. Meminjam pemikiran Geertz, ideologi terorisme diterapkan dalam dua hal. Di satu pihak, kekerasan dan kejahatan adalah model realitas yang dipahami kaum teroris. Mereka melihat kenyataan sosial (politik) sebagai ekspresi kekerasan. Bahasa sosial dan intensi politik niscaya diungkapkan dalam bentuk kekerasan. Di pihak lain, ideologi menjadi model aksi kaum teroris.
Terorisme sebagai ideologi akan memilih cara-cara yang tidak terpikirkan dalam membahasakan keburukan. Struktur kejahatan dan naungan ideologis akan menghasilkan terorisme dengan daya mematikan. Jumat berdarah di Paris menghadirkan konklusi yang tidak terbantahkan untuk kengerian ini bahwa teorisme–yang bertumbuh di atas infrastruktur kejahatan–menyediakan pil penenang ideologis untuk para pelakunya.
Penjelasan Bruce Hoffman--Inside Terrorism (1998)–merupakan kekerasan sistematis yang dilakukan beragam kekuatan subnasional. Mereka ingin merumuskan kehendak politik mereka. Menempuh jalan kekerasan untuk melawan sekaligus membangun hegemoni. Menebalkan kedengkian sebagai energi untuk melontarkan setiap aksi mematikan. Di sini, teroris menggunakan strategi manipulasi psikologis. Intimidasi dan provokasi adalah dua sisi dari manipulasi ini. Mereka menimbulkan kemarahan sekaligus kebencian sosial.

Sinisme
Kerusakan fisik dan psikologis akibat aksi teroris secara terus-menerus mendorong destruksi peradaban dan kemanusiaan. Gelombang permusuhan menggulung kehidupan sosial global. Sedemikian tegas langkah pencegahan aksi teroris, tetap belum mampu sepenuhnya mematahkan lingkaran kekerasan dan kebrutalan terorisme.
Sinisme dilontarkan Edward F Mickolus–How Do We Know We’re Winning the War Against Terrorists? (2002)–dalam menggugat mekanisme dunia melawan terorisme. Terorisme–dalam cara pandang tertentu–merupakan bentuk ungkapan perlawanan total terhadap kontur ketidakadilan global. Hegemoni politik dan dominasi sosial memunculkan perlawanan dengan jalan terorisme. Dunia akan selalu berada dalan rengkuhan terorisme ketika mengabadikan ketidakadilandari ideologi para maniak kekuasaan global.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *