Cerita di Ujung Senja

Kawan,
Mari kuajak bercerita, mari rapatkan hati, mari dekatkan perhatian.

Dulu…
Ketika aku masih kekar,
berkaki kuturuni lembah, berpeluh kudaki bukit,
Bersemangat kujalani hari hingga lelah dalam senyum.
Saat itu,
Jalan berdebu berhiaskan pepohonan berbunga
Di rantingnya bergelantungan binatang liar,ditingkahi kicau burung liar,
nikmat di telinga, sejuk di pandangan mata,
Panas datang sesuai siklus, hujan datang sesuai waktu dan masanya.
Ketika tiba di ngarai tanggung jawab,
Bersepatu karet, sandal jepit teman di jalanan,
Bersafari tampilan berwibawa,
Sayangnya konjakpun dapat memerintah,
Angkat karung berisi beras jatah,
Yang ditakar dengan rantang sebagai kiloan.
Sabun wings dan cap tangan, parfum wangian sabun lux,
Barang mewah nan mahal, bila tidak, bau dekil sudah biasa.
Maklumlah bersepeda motor belum bagianku,
Berdesakan di dalam bus mogok, atau menjulang di atas truk berbeban berat.
Bila ke sekolah,
Kudapati rumah sekolah beratapkan ilalang,
Konstruksi dan rangka kayu darurat tanpa desain arsitek,
Belum kuceritakan buku, pustaka dan literatur referensi.
Tolong menolong berulur tangan, senyum dikulum dari hati yang teduh,
Orang tua sopan nan ramah.
Hari bersekolah,
Murid datang dengan beban, mendapat etika, moral dan pengetahuan,
Membagi perilaku tata sopan santun,sekalipun perih, pedih, sedih,
Berhubung rotan berujung emas,
Pemangku kepentingan turut mendukung, hari depan berbuah emas.
Menjelang akhir masa tugas,
Jalanan beraspal hotmix, berhiaskan ranting dan gundulnya hutan,
Meluncur di atas kendaraan bermesin milik sendiri,
Klakson berdering mengganti suara kicau burung.
Hitungan menit bukit didaki, lembah dituruni,
Kota tak lagi jauh untuk bermalam, hingga ada semangat berkisah pada pengabdian.
Rumah sekolah menjadi gedung sekolah, konstruksi beton artistik,
Jaringan listrik hingga ke kloset, walau kloset kering bertumpuk tai’ tinja,
Sepatu mengkilat bermerk, haq tinggi tok tak tok tak,
Bibir bergincu sensual menggairahkan,
Tampilan necis tersetrika, lurus mulus dari salon,
Etika dan moral sangat imitatif,
Guru dan siswa akrab dalam keramahan, walau loadingnya kemunafikan.
Hari-hari berlalu,
Akan kutinggalkan dalam nostalgia,
Melihat mereka sedang gila dalam koin fin koni.
Kini kududuk memandang dalam lamunan, mengenang karya mendorog karsa,
Kutahu kini gelombang udara bermuatan jutaan alamat websait,
Browsing and searching are new vocabularies on my ears,
And more than new vocabulary, new culture, new era,
change mindset and attitude,
Hoping next generation better
,
Surat beramplop menjadi email, dan segala hal electricity,
Hingga mengeluh padamnya listrik berjam-jam.
By the way
Kecil dipaksa besar,
Injak bertindih, copot tercopot, sakit menyakiti, silang selingkuh.
Kabar burung menjadi twit,andai burungnya garuda, mungkin bisa mengangkasa,
Sayangnya burung puyuh, sehingga payah dan mudah patah.
Saat didorong berderak di tempat,
Kapan maju meluncur di hotmix, apalagi di landasan pacu menuju angkasa?
Akh … .
Kutelusuri dada telanjang, ternyata sisa urat bergurat,
Kulayangkan pandang sejauh mungkin, ternyata rabun sudah menjemput,
Baiklah kawan,
Biar kututup selembar cerita ini, berhubung hari telah senja,
Semoga hati dan perhatian berbuah refleksi.
Sahraen, 20 Nopember 2015 (Heronimus Bani)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 Komentar