Amarasi, -.infontt.com.-
Pembaca kami ajak menyimak percakapan berikut ini.
A: “Hore tua. Hai mtaam iim een, tua.”
B: “Tkoen ok attaam, tua. Hi meik kit saa’?”
A: “Hai meik kit peen fe’e he tmaktoonan. Attuun nai.”
B: “Koi Uisneno, peen ein mapuin ein, oo!”
Terjemahan dalam bahasa Melayu Kupang:
A: “Selamat. Botong su masok ruma, oo.”
B: “Mari maso, oo. Bosong bawa apa?”
A: “Botong bawa jagung baru ko bakastau. Botong bakar (jagung baru) su.”
B: “Ya, Tuhan Allah, ini jagung dong pung babulir besar-besar, ee.”
Satu budaya yang sesungguhnya sangat mengakar di kalangan peladang atoin meto’ Amarasi Raya adalah saling memberi kabar bahwa sudah tiba saatnya untuk menikmati jagung baru.
Budaya itu kini telah tergerus zaman. Para peladang sudah tidak lagi peduli dengan hal itu. Para leluhur meninggalkan dua hal dari budaya berladang dengan menanam jagung.
Pertama, mengambil dan mengucap syukur kepada pemberi roh yang menghidupkan tanaman jagung yang memberi bulir jagung menjadi bulir yang besar (iku). Budaya itu ditransformasikan dengan mengambil dan memberi (memberitahukan) kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Secara Kristen peladang membawa jagung baru ke tempat ibadah (di gereja atau di lingkungan). Pelayan mendo’akan, selanjutnya mereka dapat menikmati hasil ladang berupa jagung baru, sayur dan hasil lainnya dari ladang.
Disini ada nilai religi. Ada hubungan secara vertikal yang terpelihara.
Kedua, mereka mengambil minimal 10 bulir. Ke-10 bulir jagung baru itu diantarkan ke tetangga, kepada orang tua, mertua, saudara dan lain-lain yang terdekat. Kepada mereka diberitahukan bahwa sudah tiba saatnya untuk menikmati hasil ladang berupa jagung baru dan hasil lainnya.
Budaya yang satu ini disebut TTUUN NAI (bakar sudah)
Budaya yang kedua inilah yang sudah memudar. Padahal ada nilai kebersamaan yang sesungguhnya ada pada budaya itu. Hubungan horizontal antarsesama memudar.