By: Heronimus Bani
Mengamati kehidupan masyarakat pedesaan (terlebih di sekitar kehidupan penulis), khususnya kaum pria rasanya lebih banyak lelaki (yang sudah menjadi ayah/bapak dan pemuda) melakoni paling kurang dua hal yang sama yaitu merokok dan menenggak minuman keras. Mereka merokok dengan menggunakan tembakau yang diambil dari tanaman tembakau yang ditanam sendiri, atau membeli dari tetangga. Ada pula yang membeli rokok, terlebih rokok yang dianggap berkelas bila pergi ke pesta. Pada saat yang sama mereka menenggak minuman keras (laru hasil fermentasi dari: gula cair, nira pohon enau, nira pohon lontar, dan nira pohon gewang, sopi dan jenis minuman keras lainnya).
Pada sisi yang sama yaitu pembiayaan kebutuhan eksternal yaitu biaya sekolah hampir selalu dikeluhkan. Walaupun biaya pendidikan dasar sudah digratiskan oleh pemerintah mengingat penduduk dianggap miskin secara ekonomi, ternyata masih ada yang harus ditanggung oleh orang tua, misalnya pakaian seragam, peralatan tulis-menulis, dan biaya lain yang sifatnya menunjang sekolah anak.
Ketika pengumuman ujian akhir sekolah menengah atas (umum/kejuruan) banyak orang tua dan wali siswa hadir untuk mengetahui kelulusan anaknya. Mereka antusias dengan seluruh panca indranya terutama ketika dibacakan nama-nama anak/siswa yang memperoleh nilai tertinggi pada mata pelajaran yang diujikan. Wajah mereka nampak memancarkan kebahagiaan karena nama anaknya disebut. Sementara orang tua yang lain rona wajah datar-datar saja bila nama anaknya tidak disebutkan, atau ada yang murung ketika mengetahui nama anaknya disebutkan sebagai yang memperoleh nilai terendah pada mata pelajaran tertentu. Akan tetapi, mereka semua terhiburkan ketika kepala sekolah mengumumkan bahwa seluruh siswa peserta ujian dinyatakan lulus.
Ketika kepala sekolah menghimbau agar seluruh siswa yang dinyatakan lulus ini melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (kuliah), ternyata hampir seratus persen orang tua tidak memberikan tanggapan atas himbauan ini. Di halaman sekolah para orang tua saling bercerita bahwa mereka tidak mempunyai uang yang cukup untuk membiayai kuliah anak, apalagi adik-adiknya masih sekian orang yang duduk di bangku SMA. Ada pula yang memberi alasan, sekalipun anak tunggal, bahwa mereka sebagai orang tua tidak mampu menyekolahkan anak karena tekanan ekonomi dewasa ini semakin berat. Masih, banyak alasan yang diutarakan dalam percakapan-percakapan di luar lingkungan sekolah tentang ketidakmampuan secara ekonomi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Percakapan tentang ketidakmampuan itu dilanjutkan lagi di rumah. Beberapa bapak seperti biasanya di tempat minum (miras). Mereka menikmati laru, atau sopi dan juga rokok dalam jenis tertentu sambil mempercakapkan biaya melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi untuk anak-anak mereka yang baru lulus SMA. Tanpa terasa mereka telah menghabiskan sejumlah uang pada malam itu untuk biaya miras dan rokok. Biaya itu dipakai untuk memperbincangkan topik biaya kuliah.
Sekarang mari kita mencoba menghitung berapa besar biaya yang dikeluarkan seorang bapak yang rajin merokok dan menenggak minuman keras dalam seminggu. Sebagai pemisalan, laru yang disadap dari pohon enau (nira enau) di salah satu desa di Amarasi Selatan dijual dengan harga Rp5.000 (lima ribu rupiah) per liter. Sopi dijual dengan harga Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah) per botol. Tembakau iris kering dijual per bungkus Rp5.000 (lima ribu rupiah), pembungkus tembakau biasanya daun lontar muda. Rokok pabrikan dijual dengan harga bervariasi per bungkusnya, mulai dari Rp7.000 – Rp17.000.
Sebagai contoh perhitungan (1) bila seorang bapak minum laru seminggu tiga kali dan rata-rata meminum satu liter setiap kalinya, maka ia akan menghabiskan Rp15.000 tiap minggu. Jika sang bapak tidak merokok tembakau iris dan juga rokok pabrikan, maka ia mengeluarkan Rp15.000 (lima belas ribu rupiah setiap minggu). Maka dalam sebulan ia mengeluarkan biaya miras sebesar Rp60.000 (enam puluh ribu rupiah). Selanjutnya dalam setahun ia mengeluarkan biaya miras sebesar kurang lebih Rp720.000 (tujuh ratus dua puluh ribu rupiah). Ini angka minimal yang dikeluarkan si bapak selama
Contoh perhitungan (2) Seorang bapak minum sopi setiap minggu tiga kali dengan menikmati rokok termurah di desa itu. Sopi per botol Rp10.000 dan rokok termurah Rp7.000. Setiap kali menikmati sopi pasti disertai rokok sebungkus yang diisapnya bersama teman “pemain” sopi. Maka dalam seminggu ia menghabiskan uang sebesar Rp30.000 untuk sopi dan Rp21.000 untuk rokok, sehingga ia harus mengeluarkan uang untuk dua pembiayaan itu sebesar Rp51.000 per minggunya atau rata-rata dalam sebulan ia menghabiskan uang sebesar Rp204.000 (dua ratus empat ribu rupiah) untuk sopi dan rokok. Bayangkan untuk setahun, kurang lebih Rp2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pembaca dapat menambah contoh perhitungan ketiga dan keempat.
Apakah angka-angka seperti itu yang memenuhi keinginan sang peminum dan perokok di desa? Jawabannya, belum pasti. Mengapa? Seringkali seorang bapak tidak rutin menenggak miras. Pada kondisi seperti ini bisa terjadi kecenderungan menekan pengeluaran. Tetapi, sewaktu-waktu bila sudah masuk dalam kelompok “pemain” ada kecenderungan menambah sebotol, sebotol dan sebungkus, sebungkus. Kecenderungan kedua ini terjadi pada pesta-pesta perkawinan (hal suka) dan kematian (hal duka). Bayangkanlah berapa besar uang yang dikeluarkan dalam setahun, dua tahun, dan tiga tahun yang sama lamanya dengan masa sekolah seorang anak SMA/SMK. Terlebih lagi untuk seorang mahasiswa ia membutuhkan waktu kurang lebih 4 – 5 tahun untuk menyelesaikan studi pada program yang dipilihnya dengan sejumlah biaya yang menyertainya. Sementara pada waktu yang sama ayahnya mengkonsumsi miras dan rokok yang diyakininya sebagai kebutuhan, padahal kedua hal itu hanyalah keinginan dan nafsu.
Mungkin butuh tanggapan para pembaca?