Pengantar
(Tulisan ini pernah dimuat dalam satu harian sore (Media Timor, 27/10/2014) yang terbit di ibukota Provinsi NTT, Kupang. Oleh penulisnya telah dibukuka dengan sejumlah tulisan lainnya. Berikut diturunkan kembali melalui media ini).
Tulisan ini lahir dari hasil mengamati tugas anak-anak usia sekolah dasar di pedesaan yang selain sebagai siswa juga sebagai tenaga kerja yang membantu orang tua untuk pendapatan keluarga. Beberapa contoh berikut mengawali tulisan ini. Pagi hari. Anak menjual kue keliling beberapa gang di dalam perkampungan. Mereka meneriakkan nama kue itu dari gang ke gang. Hal itu biasanya dilakukan sebelum jam sekolah dimulai.
Siang hari waktu sekolah usai, anak-anak lelaki membantu orang tua untuk tugas-tugas seperti; memberi makan ternak (terutama sapi). Memberi makan disini artinya harus mencari pakan (makanan). Ada pula yang ketika musim tertentu mereka harus ikut memungut hasil tanaman. Misalnya, memungut kemiri. Mengambil pinang. Memetik sirih, dlsb. Sore hari, anak menjual sayur keliling. Hal yang sama dilakukan yaitu meneriakkan nama sayuran. Sambil berjalan keliling melewati gang-gang di dalam kampung. Begitu pula terjadi pada beberapa anak yang menjual mamahan, berupa sirih-pinang. Masih banyak contoh yang dapat dilihat di desa-desa ketika pagi, siang, dan sore anak-anak dijadikan naker untuk membantu pendapatan/penghasilan keluarga.
Pengalaman buruk. Ada anak tertangkap basah mencuri uang di rumah orang. Pada hari tertangkapnya si anak tersebut yang kemudian dicap mencuri, ternyata ia seorang anak perempuan kira-kira berumur 14-an tahun. Menyedihkan, dan memalukan karena ia sudah beranjak remaja yang cantik. Apa penyebab contoh-contoh di atas terjadi?
Melalui tulisan ini saya coba menguraikan berdasarkan pengamatan di lingkungan masyarakat pedesaan dan cara jajan siswa di sekolah. Penggambarannya secara gamblang untuk memberikan pencerahan.
Ekonomi keluarga di pedesaan
Jika kita mengedarkan angket dan meminta para orang tua menjawab pertanyaan; berapa besar penghasilan selama sebulan? Atau berapa besar penghasilan setahun? Maka, mereka yang mendapatkan angket itu pasti ramai-ramai bingung karena tidak ada yang dapat menghitung banyaknya rupiah yang diterima dalam setahun di pedesaan. Karena nilai rupiah yang diterima sebagai penghasilan biasanya akan segera habis terpakai karena dibelanjakan kepada hal-hal yang bersifat habis pakai: terutama kepada makanan, menyusul pakaian, dan kebutuhan barang tersier: televisi, radio, recorder, sepeda motor, perangkat komunikasi dan informasi, dan lain-lain. Rupiah yang diterima, diperuntukkan pula untuk membangun “istana” baik untuk yang masih hidup dan yang sudah meninggal.
Darimana masyarakat pedesaan/pedalaman pulau Timor mendapatkan uang dalam jumlah besar? Orang Timor (atoin meto’) dan etnis lain yang menetap di pulau Timor dalam limit waktu yang sudah lama, mendapatkannya dengan banyak cara. Tetapi yang paling umum adalah menjual ternak, tanah sawah, dan menjual padi (bagi petani sawah). Para petani holtikultura mungki berada di urutan kedua dari aspek penghasilan.
Dewasa ini jenis tanaman holtikultura banyak diminati oleh masyarakat pedesaan. Jenis tanaman sayuran, tomat, tanamam penyedap, bawang dan cabai menjadi incaran tanaman yang tepat untuk menopang ekonomi masyarakat pedesaan.
Pada jenis tanaman perdagangan seperti kemiri, sesungguhnya sangat menolong. Tanaman kemiri dua kali menghasilkan dalam setahun. Tapi tidak semua kepala keluarga menanam kemiri. Bahkan tidak ada desa atau wilayah tertentu yang muncul sebagai desa/wilayah dengan tanaman yang khas. Bila mempunyai tanaman produktif dari hutan, seperti pohon jati dan pohon mahoni atau kayu lainnya, itupun tidak semua warga mempunyainya. Karena pepohonan yang sedemikian itu tidak produktif setiap tahun dan kepemilikannya pun tidak dalam jumlah banyak di areal yang luas.
Pada tanaman-tanaman produktif perdaganan ini sering timbul permasalahan, baik yang diselesaikan oleh masyarakat sendiri antar individu secara damai, maupun diselesaikan di tingkat pemerintah desa/kelurahan, bahkan sampai ke penegak hukum. Pada sisi ini masyarakat merugi, karena telah membuang waktu, tenaga, biaya, dan material lainnya untuk mengurus perkara/perselisihan yang sia-sia, yang sesungguhnya dapat diselesaikan secara damai.
Pada masyarakat pedalaman atoin meto’, po’on atau mamar telah menjadi rujukan dalam hal pertanian untuk jangka waktu panjang dalam pengambilan hasil. Demikian pula peternakan: sapi, dan unggas. Pola beternak sapi di Amarasi yang disebut paron, dirujuk oleh pemerintah propinsi NTT agar dicontohi oleh masyarakat dari wilayah lainnya.
Masyarakat peternak sapi di Amarasi Raya pola yang dipakai dicontohi. Akan tetapi, aneh bin ajaib. Banyak anak-anak Amarasi Raya yang harus melakukan pekerjaan “mencari uang” yang seharusnya dilakukan oleh orang tua.
Dari pengamatan selama ini, bahwa ternyata tidak semua warga masyarakat Amarasi Raya mempunyai po’on (satu area yang di dalamnya ditanami berbagai jenis tanaman seperti: sirih, pinang, pisang, kelapa, kemiri, nangka, dll. Po’on senantiasa bukan jaminan penghasilan dalam jumlah besar. Po’on menghasilkan uang dalam jumlah terbatas untuk kebutuhan yang konsumtif sesaat. Jika bisa menjual pisang ambon 10 tandan, maka berbanggalah si petani itu. Jika bisa menjual 10 tandan pinang bonak, bangganya diceritakan seantero kampung. Apalagi kalau mempunyai po’on yang isinya adalah sirih, pinang bonak terbanyak.
Untuk pengetahuan saja, bahwa memang tidak semua “mulut mengangakan” tanaman yang diusahakan sebagai harta. Tetapi, hampir dapat dipastikan, kalau seseorang lelaki muda di Amarasi Raya berhasil menanam 200 anakan pisang, 100 anakan pinang, apalagi kalau itu pinang bonak, 50-100 anakan kelapa, dan tanaman umur panjang lainnya, maka akan dikumandangkan pada saat-saat dimana ia sedang “terbang” di antara desingan gelas dan botol.
Ketika si lelaki muda itu berkeluarga, maka hal itu dibanggakan kepada isterinya sebagai hadiah. Menyayangi isteri, maka ia akan bekerja keras memenej waktu untuk usaha menanam lagi agar terus bertambah jumlahnya dan kelak menghasilkan bagi pendapatan keluarga. Tetapi, bila tidak terjadi usaha menanam secara masif pada setia musim hujan, maka akan terjadi sebagaimana judul tulisan ini. Sang isteri akan membuat jajanan untuk dijual si anak.
Maka, jadilah anak-anak yang lahir di dalam keluarga itu sebagai anak-anak yang harus membantu orang tua mencari uang dengan menjaja kue, sayur dan mamahan.
Penutup
Satu refleksi saya hadirkan kepada publik khususnya menyangkut apa yang terlihat di pedesaan dimana anak-anak harus bekerja membantu mencari uang bagi keluarga. Satu fakta yang menurut saya patut menjadi perhatian, sebab anak-anak mestinya berada di area bermain dan belajar sampai mencapai usia “tanggung jawab” dan belum dapat menjadi bagian dari usaha memenuhi kebutuhan yang semestinya menjadi tanggung jawab orang tua. On re’ naan, tua. Makasi