Aku menyeruput es jeruk dihadapanku. Rasa dingin menusuk tulang-tulangku. Beberapa kali kulihat orang-orang disekitarku melirik heran padaku, “sudah tahu dingin, kok malah minum es?” dan aku hanya tertawa dalam hati merespon tatapan-tatapan mereka.
Aku sedang bahagia saat ini, terlalu bahagia hingga tak dapat merasakan perasaan-perasaan lain selain bahagia. Bagaimana tidak? Selain es jeruk dihapanku, ada pula seorang lelaki yang sangat ingin kutemui beberapa tahun terakhir ini. Lelaki yang membuatku nekat keluar pukul 19.00 dan mengabaikan kemarahan kakek hanya untuk menemuinya, dan demi apapun, harus kutahan diriku, untuk tidak menangis dihadapannya hanya karena berhasil bertemu dengannya malam ini.
Hanya karena dapat bertemu dengannya malam ini, aku menjadi lebih cerewet daripada aku yang sebenarnya, sungguh! kudapati diriku tidak seperti aku yang biasanya hanya diam dan mendengar obrolan orang lain dan sesekali memberi komentar singkat, dan aku berani taruhan, siapapun orang-orang terdekatku yang malam ini melihatku, pasti akan takjub melihatku.
Pada lelaki ini, aku menceritakan dengan jelas kehidupanku bersama kakek yang overprotektif, nenek yang sakit-sakitan, kakak yang luar biasa menyebalkan dan tentunya tanpa ayah.
Saat aku bercerita tentang kehidupanku tanpa ayah, aku seperti terbawa pada cerita-cerita ibu tentang ayah, hingga tanpa sadar, aku menceritakan pula apa yang ibu ceritakan padaku, pada lelaki ini. Aku bercerita tentang perpisahan mereka karena hubungan yang tak direstui orangtua ayah karena masalah perbedaan kelas ekonomi, tentang pernikahan ayah dan wanita pilihan orang tuanya seminggu setelah ayah dan ibu berpisah, tentang keluarga ayah, tentang nasib ibu dan kakak setelah ayah pergi, dan tentu saja tentang kelahiranku tiga hari setelah ayah meninggalkan kami.
Memang, setelah ayah pergi, aku dan kakak tinggal bersama ibu beserta kakek dan nenek. Namun, setelah kabar bahwa ayah telah menikah sampai pada kami, ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang pria yang tinggalnya tak jauh dari rumah kami. Kudengar, pria itu telah lama memendam rasa pada ibu, namun tak dihiraukan oleh ibu, karena ibu sudah bersama ayah, tak disangka akhirnya ibu menikah dengannya dan pindah dari rumah kakek meninggalkan kami bersama kakek sendirian.
Setelah ibu pindah, rasanya kami benar-benar merasakan menjadi anak yatim-piatu, walaupun ayah dan ibu masih hidup. Terlebih disaat ibu melahirkan anaknya yang pertama dari suaminya, ibu benar-benar tak pernah mengunjungi kami lagi, walaupun jarak rumah kami sangat dekat. Kakek pun tak mengijinkan kami mengunjungi ibu, alasannya ia tak ingin kami merepotkan ibu, namun setelah aku remaja dan mengerti betapa rumitnya kehidupanku, barulah kusadari ternyata bukan itu alasan yang sebenarnya. Kakek hanya tidak suka pada suami ibu yang baru, entah kenapa? Tapi yang kutahu suami ibu adalah orang yang baik.
Dan hal ini terus berlanjut hingga anak kedua, ketiga, dan anak keempat ibu lahir. Ibu hanya mengunjungi kami lima kali sekali setiap tahun, ketika natal tiba.
Kunjungan ibu adalah kado natal terindah yang selalu kudambakan
Keadaan membaik, setelah beberapa tahun terakhir ini, secara kebetulan, kakek bertemu dengan ayah disebuah meubel didaerah ibukota. Ketika itu, kakek hendak memesan sebuah lemari untukku dan kebetulan ayah sedang mengunjungi sepupunya yang ternyata adalah pemilik meubel tersebut.
Ayah yang menyapa lebih dulu (aku sedikit tidak percaya ketika kakek bercerita, namun itulah kenyataannya) Menanyakan kabar kami, sekaligus meminta maaf, dan bersedia menanggung biaya hidup kami sebagai bentuk tanggung jawab seorang ayah. Dan kehidupan kami mulai membaik setelah itu.
Uang kiriman ayah lebih dari cukup untuk membiayai seluruh kehidupan kami. Namun bukan berarti itu semua cukup memuaskan hatiku. Sebagai seorang anak, aku juga butuh kehadiran sosok ayah, walaupun tidak setiap hari.
Aku sangat ingin melihat rupa ayah. Apakah dia mirip kakak? Atau mirip aku, atau malah mirip keduanya. Aku memang tahu bagaimana rupa ayah, namun tak terlalu jelas, karena aku hanya melihatnya dari foto usang yang diberikan ibu padaku, sebagai bukti bahwa aku juga memiliki ayah, selebihnya, rupanya malah terlihat dari uang-uang kirimannya setiap bulan dan suaranya setiap kali menelepon.
Setelah cukup puas menceritakan kehidupanku bersama kakek-nenek dan kakak, aku bercerita tentang rasa iriku pada teman-teman yang memiliki ayah setiap hari, yang datang menerima raport mereka, mengantar mereka tiap pagi kesekolah, merayakan ulangtahun bersama ayah-ibu, dan tentu saja melewati akhir tahun dengan keluarga yang utuh. Aku bercerita pula tentang kerinduanku akan kehadiran sosok ayah dalam kehidupanku, dan bagaimana sulitnya membuat rindu itu berhenti ketika kakak dengan segala upayanya berusaha membuat aku membenci ayah.
Setelah puas bercerita segalanya, aku tersenyum kearah lelaki ini, dengan raut wajah berterimakasih karena sudi mendengar cerita-ceritaku tanpa menyela ataupun menyalahkanku. Aku juga berterimakasih karena Ia mau bertemu denganku, dan menghentikan segala rasa rinduku padanya.
Aku tak dapat berhenti tersenyum, sejak tadi sekalipun aku bercerita bagian terpahit dari hidupku. Aku sangat bahagia, akhirnya! Aku dapat bertemu dengannya, dapat melihat rupanya bukan hanya suaranya. Dapat melihat wujudnya sebagai manusia, bukan hanya wujud uang-uang kirimannya. Ia tampak muda dalam umurnya yang telah tua, berwibawa dan lebih mirip kakak dibanding aku, ah! Aku tak menyangka lelaki ini adalah Ayahku.
Aku tak dapat berhenti tersenyum pula, karena setelah 17 tahun aku hidup, akhirnya aku dapat bertemu ayah, walaupun setelah berusaha setengah mati. Pertemuan ini adalah ide ibu, setelah mendengar cerita tentang kerinduanku pada ayah setiap hari.
Entah bagaimana ibu merencanakannya, hingga sekarang aku dapat melihat ayah dan mendengar langsung suaranya. Suaranya lebih nyaring daripada saat menelepon, dan wajahnya lebih rupawan daripada wajah yang ada difoto itu. Beberapa kali kupandangi, ia agak berbeda dari foto yang ibu beri namun, keseluruhan, ia memang sangat mirip dengan foto itu.
“kelas dubelas kan?” tanya ayah ketika aku selesai menyelesaikan cerita-ceritaku. “iya dong ayah,” terangku.
“Mau lanjut dimana?”
“Di Undana tapi sonde tau lay, biaya nih”
“ko Lu pung bapa ada juh, suruh dia biaya to” Kata ayah lagi, membuat aku mengerutkan keningku dan menatap heran padanya.
“maksudnya, ko bapa ada nih! Sekolah sah, nanti bapa yang biaya” Ayah cepat-cepat merespon tatapanku.
Aku tersenyum senang, Ahh ! Ayah!!
“nah cepat su ko pulang, lu datang sonde kasitau opa aa?” Lanjut ayah.
“he? Bapa tau darimana?
“ko tadi lu cerita tuh, cepat sudah!!Beta duluan pi tempat parkir. Kata ayah berjalan menuju tempat parkir.
Aku lalu menghabiskan makananku yang memang tinggal sedikit, lalu menyeruput es jeruk itu dan mengambil jaketku lalu mengikuti ayah yang telah lebih dulu ketempat parkir.
Ayah mengantarku pulang, dan rasanya seperti disurga. Aku terlalu senang, amat senang dan sangat senang. Hingga perjalanan yang panjang itu terasa sebentar saja.
“turun suh” kata ayah, mengagetkanku, membuatku buru-buru turun.
“bapa sonde masuk?” tanyaku.
“sonde….” kalimatnya menggantung.
“nah sudah daaaa….” aku berbalik badan hendak masuk, namun ayah menahanku.
“tungguu…..” kata ayah, sambil menghidupkan kembali motornya hendak pergi dengan segera.
“kenapa?”
“beta bukan lu punya bapa, Lu punya bapa sibuk, jadi sonde bisa datang, beta lu punya bapa pung adik..” lalu dia pergi.
Dan aku membeku seketika.(Mayana Runesi)