Pengantar
Dalam rangka hari ulang tahun PGRI ke-71, dan hari Guru tahun 2016 (25 Nopember 2016), Pengurus Cabang PGRI Kecamatan Amarasi Selatan melalui satu panitia yang dibentuknya untuk maksud upacara, menyertakan dua kegiatan lain yaitu lomba paduan suara antarkelompok guru dan serasehan. Saya mendapat kesempatan (dan sekaligus tugas) untuk menyiapkan satu materi yang diarahkan kepada suatu diskusi dalam bentuk serasehan itu. Harapannya, para guru dapat berkontribusi dalam serasehan itu.
Tema yang diusung dalam rangka HUT PGRI tahun 2016 adalah: Membangkitkan Kesadaran Kolektif Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan.
Menilik sepintas tema di atas, rasanya ada nuansa 1) belum sadarnya para guru dalam melaksanakan tugas pokoknya, 2) kesadaran itu hanya ada pada individu, atau kelompok guru tertentu sehingga diserukanlah agar ada kesadaran secara kolektif. Belum adanya kesadaran ini menyebabkan 3) mutu pendidikan masih stagnan.
Membahas kebangkitan kesadaran guru secara kolektif dalam suatu diskusi oleh para guru sendiri, maka hal itu sama dengan membicarakan diri sendiri. Membicarakan masalah diri untuk menemukan pemecahannya sendiri dan untuk melakukannya bagi diri sendiri yang akan berdampak pada tugas, persentuhan dengan siswa, dan segala risorsis pendukung proses pembelajaran.
Tulisan ini dimaksudkan hanya untuk memandu diskusi agar ada fokus pada masalah tertentu sehingga para guru di Amarasi Selatan memperoleh jawaban atas pertanyaan: APAKAH GURU TELAH SADAR PADA TUGASNYA?
Siapakah Guru?
Koswara dan Halimah (2008:2-3) membedakan guru dahulu dengan guru sekarang. Menurut Koswara dan Halimah, kalau dulu guru dianggap sebagai oran gyang banyak tahu dan karenanya masyarakat datang kepada guru. Adapaun sekarang guru melebur diri dalam masyarakat dan mengambil prakarsa secara proaktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Pasal 1 UU No. 14/2005, mencatat Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut https://id.wikipedia.org/ Orang India, Cina, Mesir, dan Israel menerima pengajaran dari guru yang merupakan seorang imam atau nabi. Oleh sebab itu, seorang guru sangat dihormati dan terkenal di masyarakat serta menganggap guru sebagai pembimbing untuk mendapat keselamatan dan dihormati bahkan lebih dari orang tua mereka.
Kita tidak akan habis-habisnya menjawab pertanyaan siapakah guru? Nah diskusi dapat melanjutkannya.
Guru Belum Sadar secara kolektif?
Indonesia sebagai negara kepulauan di dalamnya terdapat daerah-daerah otonom (kabupaten, kota). Masing-masing daerah otonom memiliki kewenangan untuk merekrut tenaga pendidik (guru) sesuai jatah jumlah yang ditentukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN & RB) bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta kementerian terkait. Dengan penjatahan ini, maka para calon guru beramai-ramai menyampaikan lamarannya ke instansi yang ditunjuk untuk maksud itu (Dinas PPO, BKD). Hasil penyaringan, pemberkasan dikirim ke KemenPAN & RB serta BKN untuk selanjutnya ditetapkan sebagai guru di daerah otonom itu.
Para guru yang diterima dan ditempatkan itu berangkat secara kolektif di tiap daerah (misalnya 100 orang). Akan tetapi, kolektivisme yang demikian bukanlah semangat dan idealismenya. Kolektivisme itu persoalan faktual, bahwa secara bersama-sama ada sejumlah besar guru telah ditempatkan ke sekolah-sekolah untuk menunaikan tugas mereka. Lantas apakah mereka sedang sadar tugas?
Bani (2010, 2015) dalam dua tulisan yang mirip mencatat bahwa salah satu muatan pada guru baru ketika berangkat ke tempat tugas baru adalah persoalan-persoalan infrastruktur; jangkauan informasi dan komunikasi; kesejahteraan, keamanan dan lain-lain. Idealisme sebagai guru rasanya dinomorduakan ketika berangkat ke tempat tugas. Jika itu yang terjadi, maka apa yang akan dilakukannya di sekolah?
Diskusi selanjutnya dapat memperkaya khazanah pengetahuan dipandang dari perspektif para guru.
Masalah yang Membelit Guru
Luna Cahya seorang blogger (yang juga guru) dalam https://zenius.net/ mencatat paling kurang ada 4 permasalahan yang harus direfleksikan oleh guru. 1) Tugas/PR kurang tepat; 2) pendekatan cara mengajar yang kurang tepat; 3) memberikan hukuman yang tidak menyelesaikan masalah; 4) sikap anti kritik dan tertutup pada evaluasi.
Blogger Rofika Usmaini dalam http://blogrofika.blogspot.co.id mencatat ada permasalahan umum guru yaitu masalah kesejahteraan. Masalah ini telah ada solusinya oleh pemerintah melalui UU Guru dan Dosen serta turunannya seperti Peraturan Pemerintah dan lain-lain, yang sebahagian di antaranya menitikberatkan kepada kesejahteraan guru. Rofika melanjutkan bahwa secara khusus terdapat paling kurang ada 3 permasalahan di kelas yaitu: 1) Guru mengambil jalan pintas dalam proses mengajar-belajar. Ia mengutip pandangan seorang penulis bernama E. Mulyasa yang menulis bahwa jalan pintas yang dimaksud adalah guru tidak mempersiapkan administrasi pembelajaran secara baik; 2) mengabaikan perbedaan peserta didik. Semestinya guru mengoptimalkan bakat dan segala kemampuan masing-masing individu. 3) Tindakan diskriminatif. Fokus tindakan diskriminatif menurut catatan E.Mulyasa ada pada penilaian. Semestinya adil dan objektif.
Nah, diskusi dapat melanjutkan tentang permasalahan guru.
Mengapa kesadaran kolektif?
Fransisca Ria Susanti dalam blog http://fransiscariasusanti.blogspot.co.id/ Menurut Durkheim (1858-1917), ekspresi dari representasi kolektif adalah cara kelompok tersebut berpikir tentang diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan objek yang mempengaruhi mereka. Durkheim menyebut, “Melalui representasi kolektif, kita mendapatkan konsepsi tentang diri kita sendiri, tentang orang lain, dan tentang relasi kita dengan dunia natural.”
Menyimpulkan secara sederhana dengan menarik konsep itu ke dalam kesadaran bersama sebagai guru, maka dapatlah dinyatakan bahwa para guru mesti dapat menunjukkan secara bersama-sama segala tindakan yang mengarah kepada perbaikan proses pembelajaran yang dapat dilihat dan dirasakan hasilnya baik oleh siswa maupun oleh publik.
Sosiolog dari Indonesia, Soerjono Soekanto (1990:501) mengatakan guru sebagai satu kelompok masyarakat pada tingkat pendidikan dasar (TK, SD, SMP) berperan mutlak. Sementara pada tingkat SLTA para guru harus dapat membatasi diri oleh karena para siswa sebagai peserta didik telah mulai menunjukkan motivasi-motivasi diri. Pada tingkatan ini para guru perlu menyadari bahwa mereka tidak lagi berperan secara mutlak.
Terminologi kesadaran kolektif dan peran guru sebagaimana ditorehkan Soerjono Soekanto ini telah mengalami pergeseran nilai memasuki milenium ke-III, di awal abad XXI ini. Kesadaran kolektif ini dituntut dan peran guru yang mutlak pada semua level lembaga pendidikan formal perlu dikurangi. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan Mentor (Eka Prihatin; 2008; Cepi Triatna; 2008).
Purnomo (2012:6) seorang guru muda menulis, Guru wajib sadar akan kebutuhan muridnya untuk mengembangkan diri, menggali bakat-bakat siswa yang terpendam, memahami apa yang diinginkan oleh murid-muridnya untuk selalu bahagia ketika berada di sekolah.
Diskusi untuk isu yang satu ini akan memperkaya pengetahuan dan persepsi sehingga dengan harapan memberi dampak pada tugas di kelas, terlebih terlihat perubahannya sesuai tema Hari Guru dan HUT PGRI tahun 2016 ini.
Penutup
Demikian makalah sederhana ini ditulis, sekali lagi hanya sekedar panduan untuk berdiskusi pada kesempatan Hari Guru Tahun 2016, dan HUT PGRI ke-71. Dirgahayu PGRI. Selamat bertugas kepada para guru.
Sumber Pustaka
Buku-Buku
Bani Heronimus, 2010, Menjadi Guru Sekolah Dasar di Pedesaan pada Awal Abad 21, dalam Jurnal Socius Religius, Jurnal Kajian Pendidikan, Agama dan Kemanusiaan, Generasi Tunas Daud, Kupang
————-, 2015, Catatan Seorang Guru Daerah Terpencil, Inara Publishing, Kupang
Koswara Deni D., Halimah, 2008, Seluk-Beluk Profesi Guru (edisi I), PT Pribumi Mekar, Bandung
Prihatin Eka, 2008, Guru sebagai Fasilitator, Karsa Mandiri Persada, Bandung
Purnomo Nurhaji Eko, 2012, Bukan Guru Asal Ngajar, Gava Media, Yogyakarta.
Triatna Cepi, 2008, Guru Sebagai Mentor, Citra Praya, Bandung