Hau Goe Uun, Oe Je Matan

foto: al-ghafuru.blogspot.com
Heronimus Bani
Heronimus Bani

Pengantar
Seringkali orang menyebut atoin meto’ sebagai tidak pintar, kurang pengalaman, atau lebih jelek lagi, bodoh. Bisa begitu?? Akh, lebih baik bagi saya untuk mengatakan bahwa tidak seperti itu. Atau lebih baik bagi saya untuk mengatakan dengan cara lain bahwa potensi yang dimiliki individu satu dengan lainnya tidak sama. Sayangnya secara komunitas dan etnis orang hidup bersama, sehingga perlakuan selalu digeneralisir. Tidak pintar, kurang pengalaman hanyalah penghalusan dari sarkasme, bodoh. Sangat disayangkan. Apa sebabnya? Saya sendiri sebagai atoin meto’, sama sekali tidak menghendaki jika ada orang memberi cap bodoh pada saya. Tentu tidak perlu hal itu terjadi pada atoin meto’, karena banyak orang Timor sudah memberi bukti bahwa hal seperti itu hanya generalisasi semata.
Ir. Zet Malelak (Dekan Fak.Teknologi Pertanian UKAW Kupang) dalam suatu pertemuan dengan para fungsionaris jemaat GMIT di Koro’oto desa Nekmese Kecamatan Amarasi Selatan (18/01/2015) mengatakan, atoin meto’ berada dalam suatu lingkaran berpikir (circle think) yang tetap, tidak mau atau belum mau ditarik keluar dari lingkaran itu. Atau bahkan tidak ada usaha sendiri untuk keluar dari lingkaran berpikir itu. Mereka tidak mau menjadikan lingkaran itu satu garis lurus (linear).
Secara alkitabiah, Ir. Zet Malelak mensitir bahwa atoin meto’ belum berada cara berpikir Musa (the moses’ thinking) yang bergerak keluar dari Mesir keluar melewati berbagai tantangan alam dan karakter manusia agar bisa sampai ke negeri yang penuh dengan susu dan madunya (bnd.Kitab Keluaran). Secara implementatif alkitabiah, ia mennyatakan bahwa atoin meto’ tetap membudak di negerinya sendiri. Mereka berada di tanah yang Tuhan sediakan untuk mereka, namun mereka bukan menjadi “tuan” tetapi menjadi “budak”. Mereka tidak merdeka, mereka budak, bahkan mau juga diperbudak.
Saya tidak ingin membantah seorang dosen dengan segudang pengalaman dalam bidang yang digelutinya. Namun, tulisan yang sekarang ada di tangan pembaca sekarang ini, menjadi seberkas sinar yang membias untuk menguraikan kearifan atoin meto’ dalam memaknai persentuhannya dengan alam di sekitarnya, secara khusus koherensi antara pohon dan mata air. Sekaligus menjelaskan bahwa pada zaman ini atoin meto’ membentuk suatu lingkaran baru bersama-sama secara komunal dengan etnis dan suku lain di sekitar mereka. Apa dan bagaimana itu? Ini uraiannya yang pasti belum dapat memuaskan pembacanya, bahkan membuka peluang polemik.

Fakta dan Sekelumit Untaian Kepercayaan
Fakta pertama, di sekitar kita menunjukkan bahwa dimana ada pohon dalam area yang besar pasti di sana ada titik-titik mata air. Atoin meto’ pada masa lampau sebagai peladang,(sekarang mungkin sebagian) mereka berpindah-pindah karena salah satu faktornya adalah untuk menjaga keseimbangan alam, dimana ada pohon di situ akan ada kesuburan. Ketika mereka membabat hutan di lereng-lereng, mereka tidak membabatnya habis-habisan (afa’, kojek, gundul). Pada bagian puncak lereng, dibiarkankan pepohonan tetap ada di sana untuk tiga fungsi: (1) tempat melakukan upacara menurut agama suku; (2) mencegah pengikisan tanah (eka’ ho’e); dan (3) rumah bagi anggota ekosistem (burung, binatang lain). Ini tindakan pada masa lampau. Fakta ini menunjukkan suatu kearifan berpikir dan bertindak dalam kerangka menjaga keseimbangan alam.
Fakta kedua, dimana ada mata air, pepohonan di sekitarnya tidak dibabat, bahkan ditabukan (nuni, taras). Aliran air dari sumber air di situ tidak boleh dikangkangi. Jika dikangkangi (melangkah di atasnya) maka uis oe akan menghukum. Hukuman terberat adalah tidak berketurunan. Mereka menjadikan sumber-sumber mata air sebagai tempat upacara keagamaan (agama suku) sekaligus mereka meyakini bahwa ada satu kuasa yang ikut menjaga mata air dan pepohonan di sekitar mata air itu. Maka, ketika ada perusak alam, penjaga mata air dan pepohonan akan memberikan hukuman yang setimpal kepada yang merusak dan menghancurkan habitatnya. Maka, sampai sekarang masih ada (walaupun tidak banyak orang) yang meyakini bahwa mata air dan pohon ada tuannya, ada penjaganya. Maka, ketika hendak menebang pohon besar di sekitar mata air, harus “memberitahukan dan meminta izin” kepada tuan itu. Jika mau mengambil air untuk dialirkan dengan diberi sentuhan teknologi, harus ada upacara untuk memberitahukan kepada tuan air (uis oe) bahwa air yang dijaganya akan dialirkan ke tempat yang tidak seperti biasanya. Dengan upacara itu, maka uis oe akan mengizinkan untuk mengalirkan dengan teknologi sederhana maupun kompleks untuk kepentingan mereka yang memintanya.
Fakta ketiga, dimana ada air di situ ada kehidupan. Atoin meto’, negerinya kering (pah meto’ = pulau Timor), gersang (meto’-meto’). Hal ini menyebabkan mereka berpencar mencari sumber-sumber mata air, dan di dekat sumber-sumber mata air itu mereka membuka perkampungan. Faktanya demikian adanya. Perkampungan atoin meto’ sebagian besar berada di lembah-lembah. Sedikit saja perkampungan yang berada di lereng bukit, atau berada di perbukitan. Jika dewasa ini banyak perkampungan (desa) baru di lereng bukit, atau bahkan di perbukitan yang jauh dari sumber air, itu karena dilakukan secara sadar dan sengaja oleh negara dengan menggunakan peraturan yang berlaku secara nasional. Ambillah contoh ketika hendak diimplementasikan Undang-Undang tentang Desa Praja (Undang-Undang No. 19 tahun 1965).
Memang UU tersebut tidak sempat dilaksanakan, namun fakta lapangan ada pembentukan desa-desa yang disebut desa gaya baru atau juga desa konsentrasi, yang kiranya sama dengan penggabungan beberapa swapraja menjadi satu kecamatan. Akibatnya, masyarakat atoin meto’ dijauhkan dari sumber-sumber air. Lalu para uis oe yang seharusnya “diberi makan” tidak lagi mendapatkan asupan nutrisi dari orang-orang di sekitarnya. Jika pohon tumbang, dan debit air di mata air berkurang, orang meyakini uis oe sedang kecewa dan marah. Selanjutnya, pohon yang tumbang dipotong dan tidak ada hukuman, maka orang mulai keluar dari kearifan hau goe uun, oe je matan, ke dalam suatu lingkaran kearifan baru, yaitu dunia logika, ekonomi dan teknologi.
Inilah tiga fakta dan untaian kepercayaan lama (menurut agama suku), yang memungkinkan hutan terjaga.

Bacaan Lainnya

Hutan Dewasa Ini
Dimana ada pohon di situ ada air. Kata-kata ini dewasa ini diberi makna secara sempit, sehingga orang membiarkan beberapa batang pohon saja di sekitar mata air. Banyak pepohonan di sekitar mata air ditebang dengan teknologi yang lebih modern/motor sensor dalam waktu singkat dan dalam jumlah besar.
Saya pastikan bahwa saya tidak mempunyai data area hutan di pah meto (pulau Timor). Namun satu hal yang dapat saya pastikan, dewasa ini hutan-hutan yang sebelumnya terjaga dan terlindungi baik dengan menggunakan dasar keyakinan (agama suku), maupun alasan logis sederhana, kini hutan-hutan itu telah dibabat (kojek, gundul).
Pemerintah menciptakan peraturan-peraturan untuk melindungi hutan sekaligus mengklaim hutan A, hutan B sebagai milik pemerintah. Area-area miskin (padang, gersang) dibiarkan sebagai milik masyarakat. Walau pada masa tertentu tetap diklaim pemerintah sebagai milik negara sehingga negara dapat memanfaatkannya untuk kepentingan yang lebih luas.
Maka, masyarakat “melawan” dengan cara membabat pinggiran hutan. Ketika mereka dihukum, mereka bertanya, “dimana kami dapat berladang?”
Pada sisi ini, atoin meto’ berada pada lingkaran setan yaitu tetap ingin berladang secara berpindah, tetapi dengan cara melawan kodrat alam yang dulu diyakini ada “tuannya atau penjaganya”; dan juga sekaligus melawan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Negara yang diwakili pemerintah pada satu sisi melakukan tindakan yang benar untuk menjaga keseimbangan alam bagi kemaslahatan bersama semua makhluk di dalamnya. Namun pemerintah mungkin belum atau tidak melakukan studi agar mengetahui situasi kearifan lokal: apa dan bagaimana masyarakat di sekitar hutan sehingga hutan terjaga dengan baik pada masa lampau. Negara masuk dan mengambil hak ulayat masyarakat pada hutan dan tanah dimana leluhur mereka pernah menjadikannya sebagai tempat melakukan upacara-upacara demi menjaga keseimbangan alam. Negara mengklaim bahwa hutan dan tanah akan dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak. Ini tindakan benar yang keliru dan sekaligus tindakan keliru yang dibenarkan.
Ketika negara mengirim kaki-tangannya untuk menjaga hutan (jagawana), mereka lebih pantas dianalogikan sebagai serigala disuruh menjaga rusa. Dapatkah ekosistem yang terjaga dan terlidungi dengan baik pada masa lalu dijaga dengan baik oleh serigala-serigala modern? Dampaknya adalah, atoin meto’ menjadi pemangsa liar di hutan yang dijagai para serigala. Ketika serigala pergi, anjing rumah berubah sifat menjadi anjing liar (asu ‘busa’). Mereka pun memangsa rusa yang sama. Sekarang siapa yang salah?
Saya mengambil contoh. Hutan Sismeni’ di Amarasi Raya. Pada masa lalu layaknya cerita dongeng. Hutan itu katanya menjadi tempat berburu para bangsawan (usif) pada waktu-waktu tertentu. Tidak sembarang waktu mereka masuk untuk berburu dan mengambil hasil hutan di dalamnya yaitu madu, lilin, dan daging. Sismeni’ (sisi ~ daging; dan meni’ ~ keharuman cendana; aroma dan sedapnya madu). Sismeni’, sumber kehidupan sekaligus area penangkaran air, binatang liar, dan pepohonan (cendana, akasia, mahoni, kayu merah, kola, taduk, dll).
Sekitar tahun 1998 hutan Sismeni (dan Sanam) ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya dengan nama Herman Johannes. Hutan itu katanya ditata untuk berbagai kepentingan, seperti: pendidikan kehutanan, hutan wisata, hutan lindung, dan hutan kemasyarakatan. Kata dan fakta tidak berjalan beriringan. Kata mengarah ke timur, fakta ke barat. Hutan hancur, masyarakat Amarasi Raya tersakiti, banyak orang penting kebanjiran kayu jati di rumahnya.
Dalam suatu kesempatan pada tahun 2000, Camat Amarasi, Th.Naisanu mengadakan suatu pertemuan yang bersifat ilmiah, disana dihadirkan beberapa tokoh (dosen dan politisi) yang berasal dari Amarasi Raya. Mereka adalah: Filmon Koenunu, Hendrik Ataupah, Zacharias Takubesi, dan Ruben Foenay. Satu permasalahan diangkat oleh seorang pemuda mewakili masyarakat Amarasi. Si pemuda mempertanyakan nama Tahura Herman Johannes yang kewibawaannya tidak ada sama sekali bagi orang Amarasi. Dampaknya adalah, hutan bukan terlindungi, tetapi makin parah. Di muka kelihatan manis, tetapi di dalam hutan bopeng sana-sini.
Para pembicara beken ini tidak dapat memberikan jalan keluar yang memuaskan kecuali berpasrah pada keputusan nasional yang mengikat mereka di daerah. Apa kata dunia? Mereka yang katanya dianggap hebat oleh orang Amarasi Raya untuk membela kepentingan Amarasi Raya di mata dunia (kabupaten, provinsi dan pusat), justru tidak berdaya apa-apa. Mereka yang menjadi patron yang diistilahkan secara budaya sebagai nuun mafo’-reet mafo’ (beringin dan taduk pemberi kerindangan dan kesejukan), justru tidak dapat memberikan kerindangan dan kesejukan itu.
Maka, saya tidak heran kalau hutan semakin rusak. Saya tidak heran semakin orang menanam di padang-padang sekitar perbatasan antara Amarasi dengan Kupang Timur, kawasan itu selalu terbakar. Siapa yang dapat menghukum api? Dan bagaimana menghukum api? Itu tindakan konspiratif atoin meto’ dengan api?? Mungkin mereka berkomplot dengan api. Dengan begitu, mereka yang berada di sekitar Kupang Timur dan Amarasi bersama-sama menjadikan kawasan itu tempat menggembalakan ternak sapi mereka.

Makna Filosofis
Makna pertama. Hau goe uun, oe je matan adalah perlambangan ayah dan ibu. Merekalah penyebab adanya keturunan. Mereka yang dapat memberikan perlindungan, kesegaran dan kesejukan. Jika mereka disakiti, maka akan terjadi kekeringan kasih sayang dan kekurangan material.
Hau goe uun adalah lambang untuk laki-laki (ayah); oe je matan; lambang untuk perempuan (ibu). Dalam pikiran dan pandangan saya, para leluhur telah berpikir dari aspek sexologi yang dilahirkan secara arif dalam untaian kata yang membungkus fisik, sehingga orang harus berpikir keras demi mendapatkan jawabannya. Mungkinkah ini kurang menarik dan terlalu naif dan terlebih lagi “bodoh”?
Dampaknya adalah, ada sejumlah nilai dan material pada upacara perkawinan yang harus ditunaikan oleh calon pengantin laki-laki dan keluarganya sebelum mereka membawa calon pengantin perempuan meninggalkan hau goe uun, oe je matan. Sekalipun begitu, seorang laki-laki yang membawa isterinya keluar, tetap harus menghormati orang tua si isterinya sebagai hau goe uun, oe je matan.
Makna kedua. Hau goe uun, oe je matan adalah rumah tua (umi mnasi’, uim nono) dan kampung tempat kelahiran (kua-mnasi’). Setiap atoin meto’ yang merantau pada suatu saat harus kembali ke rumahnya. Di rumah itu ada kesejukan dan kesegaran. Di rumah itu ada berkat dari yang menjaganya. Di rumah itu ada upacara saeb nono heu’, pasang nama keluarga kepada seseorang yang masuk menjadi bagian dari keluarga (pengantin perempuan). Keabsahan pengantin perempuan secara adat terjadi setelah diterima secara adat dalam upacara saeb nonoheu’ di rumah adat, rumah tua, hau goe uun, oe je matan.
Keabsahan seorang perempuan yang keluar karena faktor perkawinan, terjadi setelah mereka memberikan sejumlah tanda-tanda (materi) kepada penjaga hau goe uun, oe je matan. Dengan begitu mereka akan mendo’akan agar embun dan kesejukan menyertai (piins am oe tenes) mereka dalam rumah tangga yang baru. Bukankah ini suatu ilmu yang menarik?
Atoin meto’ mestinya harus dinilai sebagai orang yang mempunyai a diffrent style of thinking yang berbeda dari suku bangsa lain di sekitarnya. Faktor alam memang tidak selalu memanjakannya, mereka pekerja keras, yang dibuktikan dengan kata-kata mmeup on ate, muah on usif, kerja layaknya budak, makan layaknya raja/tuan.
Namun, sangat disayangkan bahwa mereka memaknai, kembali ke hau goe uun, oe je matan, sebagai kembali untuk menetap bukan untuk memperkaya area itu. Mereka bahkan kembali ke sana dan memiskinkan area itu. Maka, circle thinknya jadi seperti yang diasumsikan, digeneralisir dan dihipotesakan oleh berbagai kalangan, termasuk seperti yang disampaikan oleh Ir. Zet Malelak sebagai hasil penelitian karakter atoin meto’. Belum lagi ditambah faktor modernisasi, urbanisasi dan hal-hal lain turut menjadi faktor penyebab munculnya stigma-stigma “buruk” pada atoin meto’. Menjengkelkan tapi memotivasi mereka yang mau going out from the circle think.

Penutup
Ilmu pengetahuan tak lekang dimakan waktu. Kira-kira begitu maksud hati menorehkan tulisan ini. Jika tulisan ini hanya seberkas bias di tengah kegersangan pah meto’yang dihuni atoin meto’, yang menanam di nai ma auf meto’, dan mengeluhkan segala tempat kering dan gersang (meto’-meto), maka kiranya perlu ada refleksi dan mawas diri, bahkan harus ada tindakan menampar dan memaki diri sendiri jika hari ini hadir sebagai atoin meto’, agar keluar dari stigma-stigma buruk itu.
Tidak perlulah mencari kambing hitam, karena sesungguhnya pada atoin meto’ ada ilmu, ada pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan praktis yang mestinya digali, diangkat, dan dikreasikan, dan ditunjukkan. Bukankah semua itu akan berguna?
Akhirnya, tentulah ada kekurangan pada tulisan ini. Bahwa kiranya ada manfaat dari tulisan ini menjadi asa penulisnya. Terima kasih.

Koro’oto-Nekmese’, 20 Jan. 2015 (tulisan ini dibuat atas permintaan dan telah diserahkan kepada Ir.Z.Malelak, M.Si/Dekan Fateta UKAW, di Kantornya Fateta UKAW Kupang)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *