“Cinta” Pemuda GMIT (Klasis Amarasi Timur) dalam Balutan Budaya Atoin’ Meto

“Cinta” Pemuda GMIT (Klasis Amarasi Timur) dalam Balutan Budaya Atoin’ Meto’[1]

 

Heronimus Bani
  • Pengantar

Pada tempat prioritas saya mesti bersyukur dan berterima kasih bertadah tangan pada Yesus Kristus Tuhan, Pemilik dan Kepala Gereja. Dia telah menyodorkan pada saya dan kita semua yang hadir dalam kegiatan yang dihelat oleh para muda Klasis Amarasi Timur ini. (Apakah para muda perlu rasa terima kasih dari saya? Akh… nanti dengarkan (baca) saja, setelah ini. ha ha …).

Saya mau sampaikan pada pengantar ini bahwa, sesungguhnya para muda Klasis Amarasi Timur melalui Panitia Perkemahan ini, telah menyampaikan satu tema teramat besar, luas dan dalam untuk dibahas hanya dalam tempo sesingkat ini. Tema yang dimaksudkan itu adalah, Gereja dan Budaya. Kita bisa saja berbicara dan mendiskusikannya, saling berbagi di dalamnya, namun kita tidak akan pernah habis-habisnya. Itulah sebabnya, saya mencoba menyempitkan agar kita tidak terjebak dalam diskusi yang menjadikan kita orang-orang yang keluar dari konteks diri kita sendiri. Lalu, saya gunakan judul, Gereja Masehi Injili di Timor dalam Balutan Budaya Atoin’ Meto’.

Apakah judul yang demikian akan terasa sudah semakin dekat dengan diri para muda di Klasis Amarasi Timur? Kiranya tulisan ini dan pembahasannya dalam pertemuan ilmiah para muda Klasis Amarasi Timur ini, berdampak pada kecintaan pada gereja dan budayanya sendiri serta pada puncak kecintaannya itu, para muda memuliakan Tuhan di dalam Yesus Kristus, sang Hikmat nan Al-Kalam itu sendiri.

 

  • Mengapa Cinta (kasih)?

Segala sesuatu yang terjadi pada manusia sejak penciptaan, semuanya terjadi karena kasih (atau cinta dan sayangnya) Tuhan kepada kita. Tuhan mengasihi kita, Ia telah lebih dahulu mengasihi kita. Oleh sebab itu, kepada kita Ia memberikan kasih-Nya yang besar dan tak terbatas itu agar kita saling mengasihi, dan terlelebih mengasihi Dia Sumber cinta (kasih dan saying) itu.

Dari cinta yang di dalamnya terkandung beragam nilai, keindahan, kemesraan, kehormatan, kemuliaan, pujian, syukur, terima kasih, dan banyak hal terkandung di dalamnya. Maka tidak heran jika Yesus dalam pengajaran-Nya menempatkan Hukum yang terutama itu pada Kasih (Cinta dan Sayang, Love, Manekat; Mat.22:37-40; Mrk 12:28-34; Luk.10:25-28, dan Ul.6). Bacalah surat cinta Tuhanmu setiap hari. Kamu akan semakin mencintai dan dicintai-Nya.

  • Siapakah GMIT?

GMIT. Siapapun langsung mengetahui dan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan, apa itu GMIT? Jawabannya, Gereja Masehi Injili di Timor. Itu jawaban anak PAUD di Koro’oto atau di semua PAUD yang dikelola Jemaat-Jemaat Klasis Amarasi Timur. Mengapa begitu? Karena jawaban itu hanyalah memanjangkan akronim GMIT, bukan memberikan penjelasan tentang apa itu GMIT?

Nah, bagaimana kalau orang bertanya, siapakah GMIT? Lalu orang akan memberikan jawaban, Gereja Masehi Injili di Timor? Jawaban seperti ini menurunkan kelas dari orang yang menjawabnya. Mengapa? Karena mestinya orang sudah harus memahami siapa GMIT, bukan hanya ingat akronim GMIT dan kepanjangannya.

Jadi, ketika memberikan penjelasan dengan menjawab pertanyaan siapakan GMIT, artinya orang yang memberikan jawaban itu, mestilah orang-orang yang sudah sadar tentang GMIT itu sendiri sebagai “sesuatu”. “Sesuatu” itulah yang akan kita ketahui di sini.

Bila kita personifikasikan GMIT, maka dia merupakan seseorang yang organ-organya dikandung di dalam rahim Tana Timor sebelum akhirnya dilahirkan sebagai organisasi gereja. Sejarah dan ziarah yang melahirkan organisasi gereja yang pada akhirnya disebut Gereja Masehi Injili di Timor, panjangnya tidak dapat diceritakan dalam waktu singkat dalam satu relasi berseminar ini. Bila mencermati catatan Frank Colley dalam Benih Yang Tumbuh XI (1976)[2] masa-masa itu dimulai dan bersumber dari Gereja di Nederland-Belanda, sehingga kita dapat saja secara mudah mengatakan, GMIT itu berafiliasi dengan gereja di  Belanda. Tapi, apakah begitu? Jawabannya, tidak serta merta begitu. Bahwa, bila ada masa berpacaran gaya para muda, maka ada pra gereja, yaitu ketika Portugis tiba membawa “Benih Cinta Tuhan” (1556-1613). Selanjutnya para zending dalam Oud Hollandsche Zending (OHZ, 1614-1819), dan Nederlandsche Zendeling Genoostschap (NZG, 1814-1860), serta Indische Kerk (1860-1942), merekalah yang dapat disebutkan sebagai organisasi penginjilan dan gereja yang “menyiapkan” orang Timor  untuk mandiri dalam kehidupan bergereja. Hari ini anda dapat membaca sejarah GMIT secara elektronik[3].

Simpulan sementara yang sederhana gaya para muda, sesungguhnya yang mau menjadikan penghuni Tana Timor menjadi murid Kristus bukan tiga atau empat fase para misionaris dan zending, tetapi Yesus Kristus yang mencintai orang Timor (Atoin’ Meto’). Orang-orang yang ada dalam empat fase sejarah dan ziarah menanamkan Benih Cinta Tuhan itu, hanyalah kaki-tangan Tuhan (haef-nimaf Uisneno) yang menjalankan Amanat Agung Yesus Kristus, “… Pergilah! Jadikanlah segala bangsa murid-ku, baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, ajarlah mereka … .” (Matius 28: 19-20). Teks Matius 28:19-20 dalam Uab Amarasi berbunyi demikian, “Onaim hi mnao meu mee-mee jah ate, hi ro he mitoon Au Rais Reko meu pah-pah ma uuf-uuf ein ok-oke’. Hi ro he minoni’ sin rek-reko, maut he sin njarin Au atoup noin’ ein. Ma hi ro he misrain sin he njarin tanar nak, sin nmafutun nrarin nok Ama’ Uisneno, ma In Anah, ma In Asmaan Akninu’. Ma minoni’ sin he nmo’en natuin are’ preent ein ok-oke’ re’ Au utoon a’rair ki sin. … .”

Kembali ke istilah personifikasi, jika GMIT ini orang, maka Tana Timor (Pah Meto’) laksana gadis manis yang hendak dijadikan isteri tercinta agar dari dalam kandungannya yang subur di sana “Benih Cinta Tuhan” dibenamkan. Di sana ada tangan-tangan yang menyiapkannya, yaitu Misionaris Portugis yang melahirkan Gereja Katolik di Timor dan sekitarnya, OHZ, NZG, dan IK, yang kelihatannya berbeda tapi satu tujuan, yaitu pemuridan orang-orang Timor (Atoin’ Meto’) menjadi murid-murid Kristus sesuai Amanat Agung Yesus Kristus itu.

Ketika para misionaris dan zending “meninggalkan” Pah Meto’, itu bukan karena faktor gagal dalam percintaan. Saya hendak memastikan sebagai orang beriman, bahwa, Yesus Kristus telah mengizinkan mereka pulang oleh karena kandungan Pah Meto’ telah siap melahirkan satu organisasi gereja yang disebut Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), yang semestinya lahir pada tahun 1942, akan tetapi ada satu situasi dimana ada penggoda lain yang menyebabkan kaki-tangan Yesus Kristus kembali ke negerinya. Hal ini tidak berarti Benih Cinta Tuhan mereka bawa pulang. Justru Benih itu mulai berkecambah, dimana antara 1942 – 1945 dan klimaksnya pada 1947, di sana adalah masa-masa menjelang kelahiran yang mendebarkan.

Bukankah kelahiran seorang bayi yang ditunggu-tunggu itu, mendebarkan? Ya. Jemaat-jemaat sudah ada ketika itu, Indische Kerk sebagai organisasi keagamaan negara, dibentuk 1817 berkedudukan di Batavia, telah membentuk jemaat-jemaat di seluruh wilayah nusantara, dimana Timor dan pulau-pulaunya termasuk di dalamnya. Masa-masa penginjilan dan pembentukan jemaat-jemaat yang pada akhirnya tergabung dalam organisasi keagamaan yang diakui negara, yaitu Gereja di Timor yang persiapannya telah dimulai sejak 1933. Pada masa itu, Indische Kerk memutuskan untuk membentuk tiga organisasi gereja, yaitu Gereja Masehi Injili Minahasa, Gereja Protestan Maluku dan Gereja Timor. Dua gereja yang pertama berhasil terlebih dahulu dibentuk, sementara Gereja di Timor baru berhasil dibentuk (lahir) pada tanggal 31 Oktober 1947.

Benih Cinta Tuhan yang ditanamkan lewat “percintaan” dengan gadis manis bernama Atoin’ Meto’ (orang Timor) di Pah Meto’ (Tana Timor) dan pulau-pulaunya tidak bertepuk sebelah tangan. GMIT akhirnya lahir menjadi satu organisasi gereja sejak 1947 dan terus bertumbuh hingga saat ini. Seluruh cinta yang diberikan oleh Pecinta Sejati, Yesus Kristus telah membalut Atoin’ Meto’ hingga saat ini. Dalam konteks itu, maka Atoin’ Meto’ pun mulai bergeliat budayanya. Saya hendak menamainya sebagai  Budaya Berjalur Abu-abu.

Untaian pengurai di atas belum sepenuhnya menjawab pertanyaan, siapakah GMIT? GMIT, sebagai organisasi keagamaan di Indonesia, telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejak berdirinya. Sebagai organisasi gereja, para presbiter (Yun: presbuteros) sebagai pemimpinnya. GMIT memberlakukan jabatan gerejawi, yaitu: pendeta, penatua, dan diaken (syamas). Dalam perkembangan selanjutya, menurut Tata Gereja[4] yang menjadi landasan aturan di seluruh lingkup layanan GMIT. Tata Gereja  GMIT telah mengalami delapan kali perubahan sejak 1949: 1) Peratoeran Geredja Masehi Indjili di Timor 1949, 2) Tata Gereja GMIT 1952, 3) Tata Gereja GMIT 1958, 4) Tata Gereja GMIT 1970, 5) Tata Gereja GMIT 1973, 6) Tata Gereja GMIT 1987, 7) Tata Gereja GMIT 1999, dan 8) Tata Gereja GMIT 2010.

Dari keseluruhan Tata Gereja yang dipakai itu melahirkan fungsi-fungsi kelembagaan di dalamnya, baik yang organisatoris maupun fungsional. Pendeta, Penatua, Diaken, dan Pengajar, adalah empat tugas dan sekaligus fungsi yang disematkan pada orang-orang terdidik dan terpilih. Pada orang-orang terdidik dan terpilih inilah, dilakukan penjaringan, penyaringan dan pemilihan untuk menempati organ-organ pelayanan, seperti Majelis Jemaat, Majelis Klasis, dan Majelis Sinode. Masing-masing organ pelayanan ini terdapat sejumlah sub-organ sebagai satu kesatuan yang kait-mengait menjunjung pelayanan itu sendiri yang berbasis di jemaat.

Organ-organ lain yang boleh disebut sayap organisasi GMIT sebagai “tangan pelayanan” seperti: Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (dalam kerjasama dengan GKS), Yayasan Alfa Omega, Yapenkris, dan UBB[5].

Dalam Ketetapan SInode GMIT Nomor 03/Tap/Sin-GMIT/XXXIII/2015 tentang Perubahan Pertama atas Ketetapan Sinode GMIT No. 1/Tap/SSI-GMIT/II/2010 tentang Pokok-pokok Eklesiologi GMIT[6], GMIT memahami diri sebagai gereja berhubungan dengan kehadirannya di tengah dunia. Gereja dipanggil dan dikuduskan menjadi milik Allah bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mewujudkan karya penyelamatan Allah bagi dunia (peranan soteriologis). Rumusan pemahaman diri ini diharapkan akan menolong GMIT untuk melaksanakan panggilannya sebagai garam dan terang dunia. Dasar GMIT adalah Allah Tritunggal, yakni Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang menyelamatkan dunia dan segala isinya dalam Yesus Kristus dan yang terus memelihara dan merawat seluruh ciptaan-Nya dalam Roh Kudus (bnd. Ef. 2:19-20). Dasar ini mengantar GMIT kepada pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Juruslamat dunia (bnd. 1Kor.3:11). Berlandaskan konsep Allah Tritunggal, GMIT mengemban tugas untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, yakni mewujudnyatakan keselamatan Allah bagi dunia dan manusia.

Dari aspek geografis, wilayah pelayanan meliputi Pulau Timor (bagian Barat), Rote, Sabu, Kepulauan Alor, Flores, dan Sumbawa. Etnis dan entitas yang berbeda, di sana para presbiter melayari selat dan tanjung, mendaki bukit menuruni lembah, menyeberangi sungai, melintasi  dan padang sabana. Di sana mereka bersua dengan mata air dan air mata. Di dataran yang lain ada lahan basah dan lahan kering.Di pesisir sana, ada samudera menghentak, dan laut dangkal menghanyutkan.

Para presibiter, bila menghendaki sejuknya hembusan angin, mungkin harus menciptakan suasananya, jika tidak ingin diterpa badai. Bila mengharapkan ikan besar, patutlah memancing dengan umpan yang tepat, atau tidak harus membuang pukat ketika gelombang laut bergulung tinggi berulang tinggi, jika tak ingin menjaring kesia-siaan dan ditimpa penenggelaman. Bila hendak mendapatkan domba berbaris, mungkin harus melepas seekor sapi. Bila mungkin hendak mendapatkan hasil ladang dan sawah, berilah mereka hujan tepat pada waktunya.

Nah, sampai di sini untuk memberikan sedikit pencerahan tentang siapakah GMIT?

 

  • Atoin Meto’ Berbudaya Meto’

Bagian kedua ini saya bagi lagi dalam dua konsep berpikir. Pertama, Siapakah Atoin’ Meto’? dan kedua, Budaya (Atoin’) Meto’ yang sudah berada di Jalur Abu-Abu.

  • Siapakah Atoin’ Meto’

Siapakah Atoin’ Meto’? Jawabannya, orang yang sejak lahir berdiam dan beraktivitas (agama, social, ekonomi, budaya, dan dunia sekuler lainnya) di Pah Meto’. Mereka yang demikian inilah yang disebut Atoin’ Meto’. Namun, fakta berkata lain, ada pula yang menyebut diri bukan Atoin’ Meto’, seperti: orang Belu yang sedaratan di Pah Meto’, tapi tidak menyebut diri orang Timor. Mereka orang Belu (aaz: Berus). Orang etnis lain di luar Pah Meto’, mereka tidak menyebut diri Atoin’ Meto’. Di sana ada etnis Rote (aaz:Rotes), Ndao (aaz: Raos), Sabu (aaz:Sapus), Alor (aaz: Aros), Jawa (aaz: Jabas), dan lain-lainnya. Simpulannya, orang yang disebut Atoin’ Meto’ akan nampak pada cirri-ciri fisik, tutur (bahasa), dan tradisi tampilan (pakaian), dan tradisi lainnya yang telah membudaya.

  • Berbudaya Meto’

Bila orang berbicara tentang budaya, pikiran segera dipersempit pada segala produk dengan eksistensi seni (artistic) dan adat-istiadat (custom). Bila menelusur definsi budaya seperti kutipan berikut, budaya bukan sekedar hal seperti itu. Budaya adalah perilaku sosial dan norma-norma yang ditemukan dalam masyarakat manusia. Budaya dianggap sebagai konsep sentral dalam antropologi, yang mencakup berbagai fenomena yang ditularkan melalui pembelajaran sosial dalam masyarakat. Kebudayaan universal ditemukan di semua masyarakat; ini termasuk bentuk ekspresif seperti seni, musik, tari, ritual dalam pengertian adat istiadat, agama, dan teknologi seperti penggunaan alat, memasak, tempat tinggal, dan pakaian. Konsep budaya material meliputi ekspresi fisik budaya, seperti teknologi, arsitektur dan seni, sedangkan aspek immaterial budaya seperti prinsip organisasi sosial (termasuk praktik organisasi politik dan lembaga sosial), mitologi, filsafat, sastra (keduanya tertulis dan lisan), dan sains merupakan warisan budaya non-benda dari masyarakat[7].

Kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta manusia yang didasarkan pada karsa[8].

Kedua definisi di atas berbeda dengan apa yang disajikan oleh Bruce J. Malina (2011)[9], ia memberikan penjelasan sebagai berikut: Budaya menandai daerah “kita” terhadap “mereka”, daerah komunikasi dan berbagi secara kolektif, daerah dari yang terbatas dan daerah yang terbuka yang terbatas dari pribadi-pribadi, benda-benda, dan peristiwa-peristiwa yang kelompok masyarakat tertentu pegang bersama. Budaya mengacu kepada wilayah penafsiran-penafsiran atas alam yang dimiliki bersama dan tersendiri dari berbagai kelompok yang terbatas, dan serinkali secara jelas dapat dibedakan dari “kita” yang ditempatkan berhadapan dengan “mereka”.

Mengacu pada pengertian dan uraian Malina, kita dapat menelusur masuk ke dalam dunia Atoin’ Meto’ (orang Timor). Di sana ada berbagai bentuk ekspresif seni: musik, tari, ritual adat-istiadat, agama, dan produk teknologi baik tradisional, semi modern, dan modern. Di samping mitos, filsafat, seni berbicara dan lainnya, yang membedakan Atoin’ Meto’ dengan Atoin’ bukan meto’ (atoin’ kase). Sisi Atoin’ Meto’ tidak sebangun dengan Atoin’ Kase sekalipun mereka menghuni area yang sama.

Secara umum budaya Atoin’ Meto’ (orang Timor) nampak pada beberapa hal:

  • Dunia Kepercayaan Lama (Re’u, Le’u)

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kepercayaan masyarakat Atoin’ Meto’ itu, animis, dimana mereka percaya adanya roh di sekitar kehidupan mereka. Roh-roh itu berupa roh para leluhur, bahkan roh dari segala sesuatu yang ada di sekitar mereka. Ketika Injil tiba dan memberikan pencerahan, mereka meninggalkannya dengan setengah hati[10].

Dalam kepercayaan lama, roh-roh itu disebut usif. Roh para leluhur disebutkan sebagai sedang tinggal di balik batu dan pepohonan, bahkan di telaga sungai, danau, laut hingga di tempat tertinggi yaitu, langit. Semua usif dijunjung dengan ketakutan tiada taranya. Mereka akan mencapai usif bila membawa sesajen yang ditempatkan mula-mula di Uim Re’u.

Di halaman depan uim re’u ditempatkan sebatang pohon yang ditanam, batangnya bercabang tiga[11]. Ketiga cabang itu masing-masing dimaksudkan untuk menghormati roh tertinggi yang disebut Uisneno. Cabang pertama ini lebih panjang dari cabang kedua dan ketiga. Cabang kedua dan ketiga dimaksudkan untuk menghormati para orang tua yang kelihatan dan pemerintah. Pada cabang kedua, selain bermakna untuk para orang tua, sesepuh dan pinisepuh, juga disasarkan pada roh para leluhur.

  • Seni Arsitektur, Umi-Ropo, Lopo

Dalam dunia arsitektur, masyarakat Atoin’ Meto’ membangun rumah tempat tinggal sudah menjadi kebutuhan. Dalam urusan perkawinan, (misalnya di Amarasi Raya), selalu para calong pengantin adat akan memberikan jawaban atas pertanyaan, mengapa kamu mengumpulkan para pemuka dan pemerintah di tempat ini, dan dalam rangka apa? (aaz: Nansaa’ am es ho mhoen ma muskau mahonit ma ana’ aprenat mbi bare ia, hi he mtao ma mmoe’ saa’, tua? Jawabannya, kami telah memutuskan untuk hidup sebagai suami-isteri dan hendak membangun rumah tangga. (aaz: hai mait atfeka’ he mjair fee-mone, ma he mtook umi, tua). Kata terakhir umi tidak sekedar jawaban kosong. Umi dalam pengertian konstruksi dan fungsi. Oleh karena itu, para pasangan suami-isteri selalu berusaha keras untuk membangun rumah dan memiliki rumah sendiri.

Rumah pada masyarakat Atoin’ Meto’ pun digambarkan sebagai sepasang suami-isteri, yang diungkapkan sebagai umi ma ropo[12]. Umi dimaksudkan sebagai perempuan, dan ropo sebagai laki-laki. Konstruksinya adalah, umi kbubu’.

  • Budaya Kerja (Mepu-Bain’aten)

Menurut Nuban Timo, manusia pada terlahir dalam komunitas manapun adalah termasuk pekerja (homo labour)[13], hal ini berlaku pula pada etnis Atoin’ Meto’. Dalam hal budaya kerja, wilayah kerja perempuan dan lelaki dibedakan. Ada istilah nepa-nepa umi-mone. Umi-Mone’ itulah wilayah kerja perempuan dan lelaki.Umi, wilayah kerja perempuan dan mone, wilayah kerja kaum laki-laki. Berikut dua pekerjaan pokok masyarakat Atoin’ Meto’ yang telah membudaya: futus-tenus dengan perlengkapannya yang disebut senu-atis untuk perempuan. Etu-rene dan fafi-manu dengan perlengkapan, suni-aunu(i)[14].

  • Budaya Pergaulan (Rais Kua’nonot)

Dalam hal ini terdapat ungkapan dan tindakan seperti:

  • Ma’kero’ (saling mengajak), terjadi pada anak-anak dan remaja
  • Natefan nbin oe je ‘so’en ~ hau goe mnaitin, masa pacaraBabaen ~ berkerabatan
  • babaen  – Berkerabatan
  • Baat-batan ~ bergenerasi

 

  • Perkawinan (Noon Reko-Rais Matsaos~Rais Mafe’e-Mamone’)

Dalam hal mengurus perkawinan, berbagai ritus seremoni dengan istilah yang berbeda-beda dan prinsip yang sama. Ada istilah Puah-Manus, Ripa’-Oko’, Noni-Bijae. Istilah berbeda, namun ketika seremoni dilaksanakan ada tahapan yang patut dilwati, puah ruum-ruum – maun ruum-ruum, puah heket – maun heket, puah prenat – manu prenat, puah kninu’ – manu kninu’. Semua istilah ini hanya nama, namun isinya sama dan membawa pasangan pengantin adat kepada perkawinan resmi yang disaksikan berbagai pihak.

  • Kematian (Noon Re’uf~Subat)

Mengurus kematian dalam masyarakat Atoin’ Meto’, (khususnya di Amarasi Raya) dipahami sebagai wajib (prenat). Istilah yang dipakai oleh masyarakat maets ii prenat. Tugas keluarga duka, perangkat pemerintah desa, dan petugas keagamaan berbagi tugas secara pasti. Keluarga duka ada dalam kurut-kaet dan sofi, lalu menyerahkan urusan penguburan, subat kepada perangkat pemerintah desa dan lembaga keagamaan. Tugas perangkat pemerintah menyiapkan: noup paran, nopu mnanun, sisa’en too mfaun (jika keluarga duka menyediakannya), dan haef. Tugas lembaga keagamaan, ibadah penghiburan, subat, dan syukuran.

  • Budaya Berkesenian

 

  • Lagu (Siit)
  • Tari (Bso’ot)
  • Musiik (‘Reku)
  • Tutur (Aa’ asramat, verbal art)

 

  • Keseimbangan Alam (‘Soko-Noo’)
  • Oe je matan – Hau goen uun
  • ‘Soko dan ‘Sako’
  • Eka ‘Ho’e[15]

 

  • Budaya Berhitung
  • Soi’ tain nima’, tain ne’e, masero’[16]
  • Soi’ nifun[17]
  • Soi’ bikase’[18]

 

  • Mitos dan atau Cerita Rakyat, Reta’

 

 

  • Penyakit dan Kesehatan, Menas ma Aominaf
  • Iku, roh tanaman terutama padi-jagung
  • Asoit, pelepas
  • Mook Hitu’, Manusia Tujuh Ruas

 

  • Cerita Rakyat penamaan satu kampung

 

  • Pemuda GMIT Klasis Amarasi Timur dalam Budaya Meto’

Pemuda GMIT Klasis Amarasi Timur adalah pemuda yang eksistensinya pada hari ini sebagai Atoin’ Meto’. Mengapa? Mereka berada di bagian selatan pulau Timor yang di dalam wilayah administrasi pemerintah Kecamatan: Amarasi, Amarasi Selatan dan Amarasi Timur. Semuanya[19] merupakan orang-orang yang menyebut diri Atoin’ Meto’ dalam sub etnis Atoin’ Nai’ Rasis. Dalam pada itu, mereka masih terbagi dalam komunitas pengguna Uab Amarasi yang berdialek dalam Kotos, Ro’is dan Tais Nonof. (masih ada yang disebut Ketun)

Mereka yang berada dalam gaya dialek manapun, secara prinsip semua pola pikir, sikap dan tindak budaya Atoin’ Meto’ yang telah disebutkan di atas telah dan akan dilaksanakan sambil “ketakutan” pada ajaran gereja. Itulah sebabnya, Budaya Atoin’ Meto’ berada di Jalur Abu-Abu.

 

  • Penutup

Tulisan ini saya anggap sebagai catatan-catatan lepas yang terabaikan dan terlupakan. Sifat dari tulisan in sesungguhnya hanya untuk membangkitkan ingatan yang sedang tertidur bagai ayam hutan, pagi bangun di sini, sore tidur di sana. Jika dia bisa berkokok atau berkotek, itu ada tanda hidup, lalu ia mengejar makanan bagi dirinya, sambil ia sendiri awas pada mangsanya.

Zaman ini kita hidup di dunia yang menggila. Ada kegilaan yang disebut hedonism dan narsisme. lalu hegemoni budaya pada masyarakat dan komunitas yang entitas dan identitasnya bila tidak dipertahankan, akan dengan mudah digerus bagai tsunami menghantam daratan. Maka, sebagai kaum muda gereja, janganlah mendegredasi budaya itu hanya pada mengurus perkawinan dan tata berbusaha.

Pemuda gereja, mari menjadi:

  1. Jadilah orang beriman yang taat pada “budaya alkitab” tanpa harus mem-Palestinakan, men-Yudeakan atau men-Yahudikan Timor (Pah Meto’ dan Atoin’ Meto’).
  2. Mari menjadi pewujud praktik hidup positif dalam budaya Atoin’ Meto’. Mulailah dari yang dipahami yaitu; tutur, sikap, dan perilaku yang dapat dilihat seperti: berbusana yang rapih dan sopan, berlaku yang sopan pada pergaulan dan lainnya.
  3. Penggali praktik budaya positif yang hilang dan nilai yang terkandung di dalamnya.
  4. Penulis dan pewarta budaya.
  5. Bacalah kitab sucimu sebagai surat cinta dari Tuhanmu.

 

[1] Disiapkan dan disampaikan pada Kegiatan Musayawarah Belajar dalam Pelayanan Pemuda dipadu Perkemahan Pemuda Klasis Amarasi Timur, 27 September 2019 di Sonafhonis Oekabiti.

[2] Cooley L. Frank, 1976, Benih yang Tumbuh XI, Proyek Survey Menyeluruh DGI, Jakarta

[3] https://sinodegmit.or.id/sejarah-gmit/

[4] http://gerejalaheroituaksabu.blogspot.com/2017/04/sejarah-tata-gereja-gmit.html,

[5]Mungkin masih ada yang lain, pasti ada dalam pengetahuan

[6] https://sinodegmit.or.id/wp-content/uploads/2019/03/4-Pokok-Pokok-Eklesiologi-GMIT.pdf

[7]http://dosensosiologi.com/pengertian-budaya/

[8] Team Rafapustaka, 2010, Kamus Sosiologi

[9] Malina J. Bruce, 2011, Asal-Usul Kekristenan & Antropologi Budaya, Model-Model Praktis untuk Penafsiran Alkitab, diterjemahkan oleh Agustinus Setiawati, BPK Gunung Mulia, Jakarta

[10]Saya gunakan terminology setengah hati. Kita bisa diskusikan.

[11]Bani Heronimus, https://wordpress.com/posts/ronibaniblog.home.blog

[12] Masyarakat Atoin’ Meto’ di Amarasi Raya telah menggunakan istilah umi ma ropo,hanya sebagai ungkapan tata sopan, pada praktiknya telah terjadi perubahan/ganti yaitu umi ‘hana ma uim ko’u. Konstruktusinya mengikuti pola pikir para arsitektur yang dibawa dari dunia ilmu pengetahuan (kampus).

[13] Timo Nuban Ebenhaezer, Sidik Jari Allah dalam Budaya, Ledalero

[14]Masyarakat Atoin’ Meto’ di Amarasi Raya menggunakan istilah besi-benas

[15] Sesatonis G., 2007, (skripsi) Eka’ Ho’e, Budaya “Membendung” Air Hujan di Ladang Orang Amarasi

[16] Bani Heronimus, Charles E. Grimes, 2011, (makalah) Ethno Mathematic, how to count 400 ears in 60 second

[17] Cara berhitung gaya Ro’is

[18] Cara berhitung gaya Neon Saetas

[19] Walau harus diberi catatan tambahan bahwa, para kase tidak mudah menerima fakta bahwa mereka yang lahir di Amarasi Raya adalah Atoin’ Meto’, dan orang Amarasi Raya yang lahir di pulau lain tetap menyebut diri sebagai Atoin’ Nai’Rasis yang adalah bagian dari Atoin’ Meto’

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *