Bullying: Pengikis Mental, Pembunuh Jiwa Oleh Mayana Runesi

Penulis: Mayana Runesi (Mahasiswi FKIP Geografi Undana semester 7)

10 Oktober lalu, dunia kembali memperingati Hari Kesehatan Jiwa sedunia. Penetapan momentum 10 Oktober sebagai Kari Kesehatan Jiwa telah dilaksanakan semenjak tahun 1992 oleh World Health Organization (WHO) dengan pertimbangan pentingnya dunia untuk meningkatkan kesadaran dan prioritas global untuk kesehatan jiwa. Hal ini pula awalnya telah diinisiasi oleh Federasi Dunia Untuk Kesehatan Jiwa.

Bacaan Lainnya

Peningkatan kesadaran kesehatan jiwa memang perlu digalakkan, berbagai macam kasus yang ditemukkan seharusnya menyadarkan semua pihak betapa penting kesehatan jiwa dan mental individu. Hingga 2019, menurut data global yang dirangkum WHO tercatat sekitar 800 ribu jiwa meninggal dunia diakibatkan bunuh diri.

Hal tersebut diperparah dengan fakta bahwa pelaku bunuh diri bukan saja dari kalangan dewasa, tetapi juga terdapat dikalangan remaja.Berbagai kasus terkait bunuh diri dikalangan remaja yang populer dan mendunia sudah tidak asing ditelinga penduduk dunia. Sebut saja Amanda Todd, remaja berusia 15 tahun yang memutuskan untuk mengakhiri hidup karena tak mampu membendung perasaan tak nyaman akibat perundungan fisik yang dialami sebab foto-fotonya tanpa busana beredar luas diinternet hingga berakhir menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Ada juga Bethany Thompson  yang memilih mengakhiri hidup dengan menembak dirinya sendiri pada oktober 2016 silam akibat perundungan fisik yang dialami, ada pula Brandy vela (18 tahun) yang juga memilih mengakhiri hidup karena tak mampu membendung perundungan yang diterimanya.

Terbaru, masih hangat isu dunia terkait kematian Suli, mantan girlband Fx asal Korea yang memilih mengakhiri hidup dengan dugaan tak mampu membendung perundungan online yang dialaminya.

Indonesia sendiri sejak 2019 tercatat berbagai macam kasus perundungan yang berujung kematian diantaranya, tewasnya ATKP taruna makassar Aldama Putra pada februari silam.Bahkan Kota Kupang sendiri masih hangat dengan isu kematian remaja berinisial YS yang ditemukan meninggal dunia dengan menggantung dirinya sendiri pada sebuah rumah, dengan meninggalkan sepucuk surat yang dimintainya untuk diberikan pada pihak keluarga. Dari surat yang beredar, diduga YS memilih mengakhiri hidup sebab tak mampu menerima perundungan yang diterimanya dari lingkungan tempat Ia tinggal.

Berbagai macam kasus kematian karena bunuh diri dikalangan remaja memang didominasi oleh alasan perundungan atau lebih dikenal dengan istilah bully.
Bully adalah suatu tindakan  menindas, mengancam atau mengucilkan orang lain yang dilakukan secara fisik maupun verbal, bully sendiri tidak hanya berdampak secara fisik namun juga secara psikologis.

Penyintas atau korban bully yang tak dapat menceritakan/berbagi apa yang dirasakan sebab alasan-alasan tertentu dapat mengalami depresi hingga bunuh diri jika Ia tak mampu menanggung perasaan tertekan yang dialaminya.

Nahasnya, perilaku bully malah marak dikalangan remaja, padahal individu pada masa remaja mengalami perkembangan emosi yang sensitif dengan reaktif yang kuat hingga kemudian dapat berespon negatif terhadap perlakuan yang diterimanya.

Perkembangan emosi yag tidak stabil, jika diperparah dengan lingkungan yang kurang kondusif mengakibatkan kematangan emosional remaja terhambat sehingga respon remaja cenderung semakin negatif yang tergambar melalui tingkah lakunya. Respon negatif tersebut dapat diekspresikan remaja melalui dua hal yakni agresif dan regresif. Agresif, ketika remaja dengan tingkah lakunya cenderung melawan aksi yang Ia terima dan regresif, ketika remaja cenderung berusaha menyangkali dengan meninggalkan kenyataan.

Kasus bunuh diri akibat perundungan yang marak dialami remaja, menunjukkan bahwa remaja cenderung bersikap regresif sebab tak mampu membalas aksi yang diterima hingga kemudian mengalami depresi dan berujung pada pemikiran untuk lari dari kenyataan, melalui bunuh diri misalnya.

Sayangnya, tak semua lingkungan tempat remaja berada memahami hal ini. Peran lingkungan sebagai tempat remaja bersosialisasi kemudian sangat berdampak pada perkembangan emosi remaja. Sebut saja, remaja yang memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri dikarenakan lingkungan tempatnya bersosialisasi gagal membantu remaja tersebut mengembangkan emosinya menjadi lebih matang. Hal ini terlepas dari pengelolaan emosi dari dalam diri remaja sendiri.

Individu pada usia remaja menuntut  perasaan diterima dilingkungannya, lebih daripada itu Ia bahkan harus diangap penting pada lingkungan tersebut, sehingga ketika ada penolakan, penindasan atau ancaman melalui bully, emosi remaja yang sensitif dan kuat bereaktif menjadi terluka hingga respon negatif yang sudah ada dalam diri sebagai akibat perkembangan emosi pada masa remaja cenderung keluar melalui tindakan atau tingkah laku. Beruntung jika remaja melawan, jika tak mampu melawan maka remaja akan memutuskan melukai diri sendiri agar emosi akibat penolakan atau penindasan dapat diekspresikan.

Pengenalan akan kebutuhan emosional pada usia remaja memang sangat diperlukan untuk kebutuhan perkembangan individu, terkhususnya perkembangan psikis individu. Lembaga/lingkungan pertama dan utama yang perlu mengenal akan kebutuhan anak adalah keluarga. keluarga sebagai media utama dan pertama tempat anak bersosialisasi sangat memberi dampak besar terhadap perkembangan mental individu.

Jika keluarga gagal memahami atau memenuhi kebutuhan emosional individu pada masa remaja, maka hal tersebut kemudian dapat berdampak besar pada perkembangan individu selanjutnya. Keluarga harus mengetahui kebutuhan-kebutuhan emosional seperti apa yang dibutuhkan individu pada usia remaja, harus mampu menjadi tempat individu mengekspresikan semua perasaan yang dirasakan atau semua pengalaman yang dialaminya.

Keluarga harus mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan benar dalam mengenali akan kebutuhan-kebutuhan anak, bukan saja kebutuhan fisik tetapi juga psikis. Keluarga harus mampu menjadi tempat diamana individu merasa aman, merasa diterima dan bahkan merasa dicintai, kegagalan keluarga sebagai lingkungan tempat individu bersosialisasi dapat berdampak besar pada perkembangan psikis individu tersebut.

Contoh kasus yang dialami YS secara tersirat tertuang dalam surat yang Ia tinggalkan, tergambar dengan jelas perasaan tertekan yang Ia pendam sebab lingkungan tempat Ia tinggal seolah sepakat memberi label buruk pada dirinya atas suatu kejadian yang terjadi antara ayah dan ibunya, tanpa diketahui orang-orang disekitarnya, semua bentuk cacian yang Ia terima dipendam hingga kemudian berakhir depresi dengan perkembangan emosional yang belum dewasa YS memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Nahasnya, sekalipun sebut saja YS dapat ditemukan dalam keadaan selamat, Ia akan hidup dengan tujuan hidup yang buruk sebab kebencian yang mendalam karena belum mampu dibagi/diceritakan kepada orang lain. Keluarga sebagai media yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi individu untuk mengekspresikan perasaannya malah menjadi sumber penolakan, kebencian dan depresi individu atas dirinya sendiri dan lingkungan tempatnya berada.

Selain keluarga, lingkungan sekitar juga dapat berdampak pada perkembangan emosional individu, pada lingkungan individu dapat menjadi pelaku maupun penyintas kekerasan atau bully. Keberadaan individu seperti ini, menuntut masing-masing individu agar memiliki kesadaran terlebih dahulu untuk tidak menjadi pelaku jika tak mau menjadi korban.

Data mencatat, mayoritas pelaku perundungan adalah individu/kelompok yang pernah menjadi penyintas, jika hal tersebut dibiarkan terus menerus maka bully/perundungan akan menjadi siklus berkepanjangan dan tak ada akhinya. Karena itu, penanaman kesadaran untuk tidak menjadi pelaku sudah harus ditanamkan semenjak individu dalam masa kanak-kanak, hingga kemudian pada masa pertumbuhan selanjutnya, individu tidak lagi mengalami hal-hal seperti yang telah terjadi sebelumnya. Sekian

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *